Socio-Economics and Health

 

 


 

  Ringkasan Isi Sesi

Sesi ini membahas berbagai aspek sosial yang berada di pinggiran ilmu ekonomi kesehatan. Aspek sosial ini menyangkut berbagai hal terkait dengan Social Determinant dari kesehatan. Satu aspek sosial yang mempengaruhi kesehatan adalah aspek akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Dari 6 pembicara (abstrak terlampir) masalah akses dibahas oleh Trisnantoro dalam konteks sejarah. Pada intinya masyarakat yang berada di daerah remote kurang akses dibanding dengan di daerah non-remote yang dapat membahayakan tercapainya tujuan Universal Coverage. Akses geografis ini dapat memburuk apabila tidak ada perhatian pemerintah untuk melakukan penyeimbangan. Apabila diserahkan kepilihan hidup dokter maka akan sulit terjadi pemerataan. Dokter cenderung senang bekerja di daerah maju. Secara sosial kultural faktor dokter menjadi isu penting untuk keberhasilan universal coverage.

Sementara itu ada masalah akses budaya seperti yang ditulis oleh Rebecca Reeve mengenai lebih banyaknya suku Aborigin yang sakit di daerah non-remote NSW Australia karena masalah akses terhadap pelayanan primer. Aspek pendapatan bukan menjadi faktor penting untuk menerangkan mengapa ada kesenjangan diabetes antara kelompok Aborigin dan non-aborigin. Perbedaan dalam masalah kegemukan dan pendidikan yang merupakan proksi untuk akses terhadap pelayanan kesehatan dan perilaku baik karena pendidikan terlihat menjadi pendorong terjadinya kesenjangan tersebut. Laki-laki aborigin terlihat cenderung under-diagnosed karena kekurangan akses ke pelayanan kesehatan primer. Implikasinya adalah bahwa intervensi yang mengarah kekegemukan, latihan fisik, peningkatan pengetahuan dan akses ke pelayanan kesehatan primer akan menghasilkan manfaat untuk mengurangi diabetes. Hasil ini penting untuk pengambil kebijakan walupun masih diperlukan riset dengan data.

Karina Wibowo seorang mahasiswa PhD di Jerman yang berdarah Indonesia meneliti mengenai diskrimasi yang dirasakan oleh warga pendatang di Jerman. Disebutkan bahwa pendatang merasakan adanya diskriminasi dari sistem kesehatan di Jerman. Hal serupa dirasakan oleh orangtua walaupun merasa puas dengan pelayanan kesehatan. Terakhir orang tua dari etnis tertentu merasa kurang puas dan merasa didiskriminasi dalam pelayanan kesehatan. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam aspek sosial ada "sesuatu" yang dirasakan tidak berjalan baik dalam pelayanan kesehatan. "Sesuatu" ini menyangkut hal yang abstrak yang dalam penelitian ini berusaha diungkapkan.

Tiga pembicara lain membahas mengenai berbagai aspek sosial yang mempengaruhi asthma dan hipertensi, serta pengaruh kematian anak dalam fertilitas. John Gibson (University of Waikato. Faculty of Economics) membandingkan pendatang Tonga yang datang ke New Zealand melalui lotere dibandingkan dengan yang gagal mendapatkan di Tonga. Berbeda dengan harapan, hasilnya menunjukan bahwa migrasi dari Tonga ke New Zealand  menunjukkan perbaikan kinerja baru. Salah satu penyebab mengapa terjadi karena perubahan lingkungan social yang mengurangi merokok di kelompok migran laki-laki.  Kawan diyono dari Survei Meter meneliti mengenai hipertensi dan persamaan dan perbedaan antara situasi di Indonesia dengan hasil-hasil dari berbagai studi di negara lain.  Dengan penelitian ini diharapkan dapat membuat para pakar kesehatan masyarakat mengembangkan intervensi dan program yang spesifik untuk masyarakat   Indonesia pada umumnya dan kelompok-kelompok masyarakat . Marwân-al-Qays Bousmah dari Aix-Marseille School of Economics  Perancis meneliti mengenai hubungan antara kematian anak dan perilaku peningkatan fertilitas. Implikasi kebijakan adalah bersamaan dengan perbaikan status  kesehatan dan perkembangan kelangsungan hidup anak, kebijakan-kebijakan kesehatan yang  bertujuan untuk mengurangi kematian anak akan mempunyai dampak pada perilaku fertilitas. Kebijakan-kebijakan ini akan bersifat mendukung trasisi fertilitas secara sukarela dengan cepat di negara-negara Sub-Sahara Afrika, bersamaan dengan program keluarga berencana tradisional.

Penulis: Laksono Trisnantoro

Silahkan melihat abstraknya di bawah ini:

ABSTRAK 1: Can Indonesia improve socio-economic and geographic equity together? A historical analysis
Presenter: Laksono Trisnantoro (Gadjah Mada University. Faculty of Culture)


Background: In Indonesia, the effort for achieving universal coverage will have new momentum in 2014. However the past experience of Indonesian health service system shows that increasing the coverage of health protection scheme is not a simple policy. This research provides historical facts, which have influenced health equity in Indonesia and discuss a possible dilemma in reducing economic and geographical inequity at present and in the future. Method: Historical analysis. Results: As a direct response to the economic crisis in the late 1990's, financial protection for health care for the poor was set nationally in 1999. The protection policy aimed to reduce out of pocket spending by increasing central government funding targeting the poor. A steady growth of central government funding for health social security resulted in a relatively low incidence of catastrophic out of pocket health expenditure, which has declined over time. The financial protection program reduced financial barriers to access for poor households for both hospital and non-hospital services. However, alongside these positive impacts, the regional inequalities in access to services have not improved over time. There is regional inequity due to shortages and mal-distribution of inputs such as health facilities, medical specialist and trained nurses. Historical facts will be used to explain this situation. Indonesia has taken the route of market –based economies and is has not been a welfare state since the colonial era. Hospitals and health service providers are distributed based on market demands and cluster in the cities and regions with good economic development. Conclusion: The new Law faces a difficult challenge in terms of geographic inequity. The geographic problems have deep roots in Indonesian health system development. There is a possibility that the improvement of socio-economic equity may worsen the geographic inequity in Indonesia.


Key Terms: geographical inequity, universal coverage, and history of health service
Authors (2): Baha'uddin (GadjahMada University. Faculty of Culture) and Laksono Trisnantoro (Faculty of Medicine, GadjahMada University. Center for Health Service Management)

 

ABSTRAK 2: What factors drive the gap in diabetes rates between Aboriginal and non-Aboriginal people in non-remote New South Wales?
Presenter: Rebecca Reeve (University of Technology-Sydney. Centre for Health Economics Research and Evaluation)


Background and Objective: Despite established risk factors for type 2 diabetes in the general population, there is limited research on the size and significance of these risk factors in Australian Aboriginal populations, particularly in non-remote areas. In New South Wales (NSW), 95 per cent of the Aboriginal population live in non-remote areas. The objective of this study was to identify the factors underpinning the growing gap in diabetes rates between Aboriginal and non-Aboriginal people in NSW. The results indicate the most appropriate target areas for policy interventions, which can be used as indicators to monitor progress towards reducing the gap. Methods: Data from the 2004-05 National Health Survey (NHS) and National Aboriginal and Torres Strait Islander Health Survey (NATSIHS) were used to estimate the differences between Aboriginal and non-Aboriginal people in NSW in terms of self-reported diabetes rates and risk/prevention factors. Logistic regression models were used to investigate the contribution of each factor to predicting the probability of diabetes. The analysis was restricted to non-remote areas due to ABS restrictions on the use of geographic variables, which prevent the identification of remote areas by state. Results: In non-remote NSW, risk factors for diabetes are more prevalent in the Aboriginal sample and prevalence of diabetes is 2.5 to 4 times higher in Aboriginal compared to non-Aboriginal adults. The odds of (known) diabetes for Aboriginal and non-Aboriginal Australians, in non-remote locations, are significantly higher for older people, those with low levels of school education and those who are overweight or obese. After controlling for other risk and prevention factors, low income is only associated with increased risk of diabetes in the non-Aboriginal sample. In the Aboriginal sample, the odds of diabetes are significantly higher for people reporting high levels of psychological distress. Males only have higher odds of known diabetes in the non-Aboriginal sample. Conclusions: Income does not appear to be important in explaining the gap in rates of diabetes between Aboriginal and non-Aboriginal people living in non-remote NSW. Differences in BMI and education (a proxy for ability to access and act upon health knowledge) appear to be driving the gap in diabetes rates. Psychological distress may also contribute to increased risk of diabetes in the Aboriginal population. Aboriginal men may be more likely to be under-diagnosed due to lack of access to primary care services. Implications The evidence suggests that interventions targeting obesity, exercise, improving knowledge and access to primary care services will have the greatest potential benefit for reducing the diabetes gap. The results are useful for policy makers as they show that current strategies appear to be appropriately aligned with the evidence. However, further research using longitudinal data is required to determine whether the specific methods being used to achieve these targets are effective.


Biographical Details:
Rebecca Reeve is a team investigator on CHERE's NHMRC Capacity Building grant and is program manager of the CHERE's policy evaluation program of research. She also manages the cost-effectiveness study of Drug and Alcohol Consultation Liaison Services in NSW hospitals, commissioned by NSW Health. Rebecca has an Honours degree in Economics (2004) and a PhD in Economics (Macquarie University 2010). In 2011, she received a UTS Faculty of Business grant to investigate the factors underpinning the growing gap between Aboriginal and non-Aboriginal diabetes rates in New South Wales, which is the topic of her iHEA presentation.

Key Terms: Aboriginal, diabetes, risk factors, non-remote NSW
Authors (5):Rebecca Reeve (University of Technology, Sydney. Centre for Health Economics Research and Evaluation) , Jody Church (University of Technology, Sydney. Centre for Health Economics Research and Evaluation) , Marion Haas (University of Technology, Sydney. Centre for Health Economics Research and Evaluation) , Wylie Bradford (Macquarie University. Economics) and Rosalie Viney (University of Technology, Sydney. Centre for Health Economics Research and Evaluation)

 

ABSTRAK 3: Immigration and Respiratory Health: Experimental Evidence from a Migration Lottery
Presenter: John Gibson (University of Waikato. Economics)


 Theme: Application

Respiratory disorders such as asthma and chronic obstructive pulmonary disease (COPD) are the fourth leading cause of death worldwide. While asthma is a reversible inflammatory disorder of the airways, which especially affects children, COPD is non-reversible and especially affects the elderly. The main causes of COPD are smoking in rich countries and indoor cooking smoke in poor countries. There is debate about causes of asthma, which almost doubled in some rich countries over the past 25 years. In New Zealand, which is the context for this research, the burden of asthma and COPD is second only to cardiovascular diseases, in terms of disability-adjusted life years. New Zealand has one of the highest asthma rates in the world, with substantial ethnic inequality. Maori and Pacific children have higher prevalence and hospitalization rates for asthma than do children of other ethnic groups and the highest rate of increase in asthma over the last two decades was for Pacific Island children [ISAAC: International Study of Asthma and Allergies in Childhood]. The burden of respiratory illnesses for Maori and Pacific Islanders reflects higher smoking rates, poor housing with substantial overcrowding and possibly the unequal impacts of air pollution. Immigrants are of special significance in the literature on asthma since migration involves exposure to a new set of pollutants and allergens and also affects housing conditions, all which have possible links with asthma. This literature finds that the foreign-born arriving from countries with lower asthma prevalence experience a time-dependent increase in asthma symptoms. Comparisons between foreign-born and native-born survey respondents suffer from two potential problems: selection bias and reporting bias. Selection bias may mask the true extent of the migration-dependent increase in asthma if immigrants are more or less asthma-prone than non-migrants from their home country. Reporting bias may occur because of changes in access to health care with migration, with respondents only becoming aware of long-standing health disorders if they have improved access to health care after migrating. To overcome these problems, this paper uses a natural experiment, comparing successful and unsuccessful applicants to a migration lottery to experimentally estimate the impact of migration on self reported asthma and measured respiratory functioning. Approximately four years after migration we compare migrants who had entered New Zealand through a random ballot with unsuccessful participants in the same ballots living in the home country of Tonga. Contrary to expectations, the results show migration from Tonga to New Zealand to improve lung functioning, as measured by peak flow. The rate of moderate asthma indicated by peak flow as a percentage of the expected peak flow adjusted for age, gender and height, falls by between 10 to 20 percentage points. One possible cause of this improved respiratory health is a substantial decline in current smoking amongst immigrant males. This experimental evidence indicates that there is no inevitable decline in respiratory health following migration from a low-asthma to a high-asthma environment and raises questions about whether findings in the existing literature have been affected by self-selection and reporting biases.

Key Terms: Respiratory health, Immigration, Natural experiment
Authors (4): John Gibson (University of Waikato. Economics) , Steven Stillman (University of Otago. Economics) ,HalahinganoRohorua (University of Waikato. Economics) and David McKenzie (World Bank. Development Research Group)

 

ABSTRAK 4: Assessing Social Determinants as Predictors to Conversion to Hypertension: Evidence from the Indonesia Family Life Survey (IFLS)
Presenter: KawandiyonoSantoso (SurveyMETER)


Hypertension is a leading risk factor to global mortality. Though silent and chronic, it is not unpreventable. Designing preventive public health interventions should start with identifying characteristics associated with becoming hypertensive. Our research used the longitudinal Indonesia Family Life Survey (IFLS) to investigate the contribution of a full range of potential determinants (i.e., demographic, socio-economic, behavioral, psychological, and health systesms) known from research on other populations to be associated with hypertension. Using the IFLS, we tracked blood pressure measurements on a panel, nationally representative sample of 10,846 adults who in 1997 had normal blood pressure and who stated on interview they had never been told they have high blood pressure. Using blood pressure measurements and self-reports in 1997 and two subsequent survey rounds, we categorized each person as either having converted or not converted to high blood pressure by 2007. Twenty-nine percent of our sample converted to hypertensive status in that ten years period. Using information about individual and community characteristics from the IFLS 1997, we used logistic regression to determine which characteristics, observable prior to conversion to high blood pressure status, were associated with that conversion. We will report on results of this analysis, including gender, geographic and socio-economic differences in these predictors. These results will shed light on similarities and differences between Indonesia and results from studies in other countries, allowing public health professionals to tailor interventions and programs specific to the Indonesian context and to specific sub-populations within Indonesia.


Key Terms: social determinants, predictor, hypertension
Authors (2): KawandiyonoSantoso (SurveyMETER) and Jeffrey Sine (RTI International. Social Political Health Economic Research)

 

ABSTRAK 5: Evidence for a Non-Linear Effect of Child Mortality on Fertility Behaviors: Micro Data from a Senegalese Rural Community
Presenter: Marwân-al-QaysBousmah (Aix-Marseille University, CNRS & EHESS. GREQAM)


The present paper seeks to take the analysis of the relationship between child mortality and fertility behaviors one step further by highlighting a new link between these two variables. In particular, it reconciles the ongoing debate between the 'child survival hypothesis' and the 'replacement hypothesis', as both strategies can be prominent depending on the burden of child mortality. We use individual data collected quarterly within the Demographic Surveillance System of the rural community of Niakhar (Fatick, Senegal), which is Africa's oldest statistical observatory. We analyze the complete birth histories of 2884 women born between 1931 and 1962, which are typical count data. The determinants of fertility are investigated using a standard Poisson Regression Model. Several spécifications are estimated to emphasize the heterogeneous effects of child mortality on both total and net fertility. Among them, fractional polynomial transformations of the child mortality variable are used in order to capture the potential non-linear nature of the relationship. In line with other empirical studies,the global impact of child mortality on total and net fertility is found to be positive. More precisely, we find that women who have experienced at least one child death have a total fertility, which is 1.47 higher than women who have not. Such an increase is proved to be larger than the one needed to replace lost lives, as net fertility is also 1.12 higher. We further show that the response is non linear in the level and in the rate of child mortality, as the amplitude and the direction of the effect vary with the number of child losses. To our knowlegde, this is the first paper to provide evidence that the 'child survival hypothesis' and the 'replacement hypothesis' are not mutually exclusive. A precautionary demand for children is likely to arise for relatively low values of child mortality. However, when child deaths increase, a replacement mechanism prevails. Finally, for dramatic values of child mortality, the rise in total fertility does not fully compensate for child losses, so that net fertility falls. The results hold when we account for the effect of child mortality in level or in rate, and are robust to changes in econometric specifications. The main policy implication is that, along with health outcomes and child survival improvements, health policies aiming at reducing child mortality have additional desirable effects on fertility behaviors. These policies are likely to be supportive of a rapid and voluntary fertility transition in Sub Saharan Africa along with traditional family planning programs.


Authors (2): Marwân-al-QaysBousmah (Aix-Marseille University (Aix-Marseille School of Economics), CNRS & EHESS. GREQAM) and Mohammad Abu-Zaineh (INSERM? Aix-Marseille University (Aix-Marseille School of Economics). SESSTIM)

 

ABSTRAK 6: How satisfied are migrants and the elderly in the German health care? A case study on Germany of perceived racism and ageism in the German health care
Presenter: Karina Wibowo (Jacobs University & University of Bremen. Bremen International Graduate School of Social Sciences)


Our population is undergoing an inevitable phenomenon of aging due to the demographic transition. Such change makes it necessary to get more people to fill the job vacancies. As a result, an increasing number of workers need to be hired from abroad. Such influx of foreign population is a normal outcome of the demographic transition which could have been foreseen. However the society has not been prepared for such changes. As minority population increases, they are easily discriminated against, especially if the outcome of the population growth is not expected (Becker, 1975). The increase of the elderly is viewed negatively by younger population. They believe such increase changes their daily life due to the adaption politically and economically since the elderly are living on the costs of the younger population. (BMBF 2012, Schmähl). Immigrants are viewed in a similar way: according to the economical active population, immigrants come to the country to live on local social welfare, which is in the end supported by the taxes of the indigenous population. Thus elderly and immigrants are seen to be a burden to the economically active population, which is comprised of the younger German population. The stereotypes towards the elderly and immigrants can result in discrimination, which has been shown by a lot of studies. Simply put: „Elderly and immigrants are allowed but they are not welcome". Therefore this study concentrates on perceived racism and ageism in the German health care among Christian communities. Christian communities were chosen since racism in Germany often occurred due to discrimination against the Islamic religion (lit). Furthermore no migrants with a Turkish background were taken into account, since numerous studies have shown that they are discriminated against. Therefore this study focuses on migrant communities other than Turkish one (lit). The hypothesis, which were tested were following: 1. Patients with an ethnic background are less satisfied with the health care and feel discriminated. 2. The elderly is less satisfied with the health care and feels discriminated. 3. The Elderly with an ethnic background are least satisfied with the health care and feel most discriminated. Methods An online survey was prepared in order to investigate in the perceived discrimination of migrants and the elderly. This survey covered questions on physician- patient relationship (including trust towards the physician, satisfaction with the physician and the medical treatment), satisfaction with the hospital (including questions on waiting hours, access to health care), perceived health behavior (healthy lifestyle), perceived health status and discrimination (observed discrimination and perceived discrimination). Results The results show that migrants perceive discrimination in the German health care system. On the other hand, the elderly are satisfied with the health care system but they perceive some level of discrimination. Finally, the elderly with an ethnic background feel less satisfied and also perceive discrimination. As the demographic transition of the society is transitioning towards more elderly and elderly with an ethnic background the problem of discrimination in the health care has to be tackled.


Key Terms: racism, ageism, patient's care, discrimination
Author (1): Karina Wibowo (Jacobs University, University of Bremen. Bremen International Graduate School of Social Sciences)

SEMINAR PANEL

Personalized Medicine, Orphan Disease Drugs
and the Future of Health Economics


Diskusi panel dibuka dengan pengantar dari Michel Drummond, Professor of Economics dari University of York.

capsulDiskusi ini membahas tentang perkembangan menarik dalam obat. Majalah Forbes memperkirakan akan ada obat seharga jutaan dolar setahun di pasar. Isu mengerucut tentang biaya dari Orphan Drugs dan perkembangan kedokteran personal memberikan alarm untuk anggaran kesehatan di dunia.

Ada banyak pertanyaan yang akan dibahas misal: apakah ada justifikasi untuk standar pengembangan Orphan Drugs; Apakah ditujukan hanya untuk special case? Bagaimana dengan beban asuransi untuk membayarnya? Apakah penyakit biasa seperti asma dapat secara sah dibagi lagi menjadi berbagai tingkat lain sehingga dapat disebut Orphan Drug? Apakah bisa personalized medicine menjadi orphan drug juga.

Catatan tentang apa yang disebut sebagai Orphan Drugs dan Personalized Medicine

What are orphan drugs?

An orphan drug is defined as a medicine, vaccine or in vivo diagnostic agent that is: intended to treat, prevent or diagnose a rare disease; ornot commercially viable to supply to treat, prevent or diagnose another disease or condition. Medicines need to be designated as orphan drugs by the TGA before an application to register an orphan drug on the Australian Register of Therapeutic Goods (ARTG) will be accepted

 

 

 

   What is Personalized Medicine?

As defined by the President's Council on Advisors on Science and Technology, "Personalized Medicine" refers to the tailoring of medical treatment to the individual characteristics of each patient...to classify individuals into subpopulations that differ in their susceptibility to a particular disease or their response to a specific treatment. Preventative or therapeutic interventions can then be concentrated on those who will benefit, sparing expense and side effects for those who will not.

Lihat lebih lanjut dapat membaca mengenai Personalized Medicine di http://www.personalizedmedicinecoalition.org 

Isu-isu ini dibahas oleh tiga pakar yaitu:

  1. Lou Garrison, Professor, School of Pharmacy, University of Washington: Seattle.
  2. Larry LyndAssociate Director of the Collaboration for Outcomes Research and Evaluation (CORE), University of British Columbia, Canada.
  3. Adrian Towse, Director, Office of Health Economics, United Kingdom

Lou Garrison menyatakan berdasarkan pengalaman termasuk bekerja di Roche, isu mengenai personal medicine dimulai misalnya dari genom, dan adanya berbagai tes dan solusi medik. Saat ini kita hitung mungkin sekitar 20 personalized product. Memang banyak hambatan dari perspektif Scientific, regulatory, reimburstment, dan evidence. Yang paling sulit adalah re-imburstment policy. Produk-produk ini tidak masuk ke pipeline massal. Hanya dipakai sedikit. Harga yang ditetapkan adalah diatas cost... bukan pada value atau nilainya. Pertanyaan yang paling penting adalah bagaimana resimburstment policy.

Larry Lind mendukung pernyataan Garrison. Pertanyaannya apakah Orphan drug akan dire-imburst atau tidak. Jika hanya menggunakan value orphan drug dengan standar yang sama dengan obat lain maka pasti hasilnya adalah tidak akan dire-imburst. Pertanyaan lebih lanjut mengenai obat Orphan yang mahal, apakah penghitungan harganya benar? Di Canada, ditunjukkan yang penting adalah willingness to pay.. Jadi mari kita bayar saja. Mengapa? Karena jumlah totalnya tidak banyak. Jadi dalam orphan drug perlu ada paradigma yang berbeda. Pertanyaannya sekali lagi apakah harganya benar. Apakah pricingnya jelas? Pendekatannya adalah bagaimana agar murah. Namun, jika terlalu banyak obat di pipeline akan menjadi berat nantinya di segi pembayar.

Adrian Towse: Yang dikawatirkan adalah adanya over investment. Bagaimana hasilnya. Saya lebih suka menyebut sebagai stratified medicine untuk personalized medicine. Penyakit-penyakit yang ada akan bisa terfragmentasi misal karena genetika. Ada kemungkinan obat akan menjadi banyak sekali. Kita harus lebih hati-hati. kita tidak tahu apakah masyarakat mampu membiayai berapa. Ini dapat menimbulkan kekacauan di peroduksi.

Dalam diskusi dengan para peserta memang terlihat bahwa isu Orphan Drug dan Personalized Medicine khas berada di negara maju yang sistem pembayarannya cukup besar. Disamping itu ada factor kekuatan penekan yang mendorong semakin banyaknya Orphan Drug. Dalam konteks negara sedang berkembang, Professor. Hasbullah Thabrany dari UI menyatakan bahwa harga Orphan Drug tidak akan terjangkau oleh negara-negara sedang berkembang. Terlalu mahal untuk dibayar oleh pihak asuransi kesehatan atau negara.

Pelapor: Laksono Trisnantoro

Panel Session Title:
Single-Payer Systems in a Multi-Payer World:
Is There a Role for Parallel Private Finance?


 

11jul-1

 

  Deskripsi Sesi

Negara-negara di dunia saat ini menghadapi tantangan baru yaitu peningkatan kebutuhan pendanaan kesehatan yang harus dibayarkan untuk menutupi tantangan peningkatan kebutuhan pelayanan kesehatan. Tetapi hal tersebut masih terkendala akibat terbatasnya sumber daya yang ada. Kebutuhan akan tersedianya pelayanan kesehatan yang semakin cepat, merupakan kebutuhan baru masyarakat di negara negara maju saat ini. Terkait dengan asuransi, pertimbangan waktu untuk segera mendapatkan pelayanan, merupakan hal penting dalam sistem kesehatan yang modern. Beberapa negara seperti Australia dan Irlandia, telah mencoba menggabungkan model pelayanan sistem asuransi kesehatan swasta, untuk diterapkan kepada asuransi kesehatan modern. Hal ini dilakukan untuk menghindari ketidaktertarikan orang untuk menggunakan asuransi sosial, karena masalah waktu mendapatkan pelayanan. Selama ini ada anggapan bahwa hanya manfaat dari sistem asuransi saja yang menjadi daya tarik seseorang untuk memiliki asuransi. Namun kebutuhan akan mendapatkan waktu pelayanan yang cepat merupakan syarat yang tidak boleh diabaikan. Australia dan Irlandia, sudah mencoba menerapkan hal ini, dan ternyata siginifikansi orang untuk tertarik "membeli" asuransi menjadi lebih tinggi. Seperti yang terjadi di Kanada, dimana sedang diberlakukan sistem asuransi tunggal, maka hal ini menjadi syarat penting dan harus. Mengingat benefit yang diterima dari asuransi pemerintah dan asuransi swasta relatif tidak sama. Butuh suatu usaha keras dari pemberi layanan asuransi untuk menjadikan satu bentuk sistem asuransi yang terpadu. Pada sesi ini dipaparkan beberapa hasil kajian dari Amerika Serikat, Kanada, Australia, Irlandia dan Taiwan. Pelajaran yang diperoleh dari penggabungan sistem ini adalah diperlukannya suatu integralitas sistem yang ada, baik model pembayaran, nilai premi, manfaat yang diperoleh, kualitas dan waktu untuk mendapatkan pelayanan. Disisi lain penghitungan jumlah premi yang tepat juga merupakan hal penting untuk dapat mendapatkan angka kebutuhan sumber dana yang tepat.

  Relevansi untuk Indonesia

Akan diberlakukannya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS, model single payer ini perlu dipelajari secara serius, mengingat masih banyak sistem asuransi (multi-payer dan multi player) yang ada. Bagaimana sistem single payer ini akan benar benar menjamin tercukupinya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan harus benar benar diperhatikan. Masyarakat sudah membuktikan bahwa pelayanan Asuransi Swasta masih lebih unggul. Dalam hal ini, pemerintah harus bisa bekerja sama dengan mengintegrasikan beberapa keuntungan yang diperoleh masyarakat dari asuransi swasta. Harga (premi), kualitas (pelayanan asuransi), waktu (mendapatkan pelayanan dan administrasi) serta manfaat, merupakan hal penting untuk mencapai tujuan memenuhi kebutuhan pembiayaan kesehatan masyarakat dengan efisiensi sumberdaya yang ada.

11jul-2Countries around the world continue to face challenges associated with rising health care expenditures and competing demands for limited resources, long wait times for care, and citizens who expect more from their health care system. In response, some countries, including Australia and Ireland, have experimented with systems of parallel private finance that offers citizens faster access to health care services for a price (including those covered through publicly-funded insurance), with suggestions by some that this can alleviate pressure on the publicly-funded system. Some single payer countries, like Canada, are facing pressure to follow suit and add a parallel private tier. What can single-payer health care systems learn from the experiences of their multi-payer counterparts? What can multi-payer health care systems learn from their single-payer counterparts? What does the research evidence say about the impact of parallel private finance on key measures like access, costs, physician behavior and citizen satisfaction? This panel of experts from Australia, Ireland, Canada, the United States, the United Kingdom and Taiwan will present the latest evidence on the positive and negative effects of parallel private finance and options for health system sustainability.

Sesi ini dibahas oleh 6 Panelis (abstrak bisa dilihat masing-masing panelis):

11jul-3

  1. Panelist: Elizabeth Savage
    Presenter: Elizabeth Savage (University of Technology, Sydney. UTS Business School)
     
  2. Panelist: Jerry Hurley
    Presenter: Jerry Hurley (McMaster University. Department of Economics)
     
  3. Panelist: Peter Smith
    Presenter: Peter Smith (Imperial College)

11jul-4

  1. Panelist: Charles Normand
    Presenter: Charles Normand (Trinity College Dublin)
     
  2. Panelist: Jim Burgess
    Presenter: Jim Burgess (Boston University. School of Public Health)
     
  3. Panelist: Rachel Lu
    Presenter: Rachel Lu (Chang Gung University. College of Management)

Ditulis oleh: Deni Harbianto

 

Catatan Akhir Mengikuti Kongres di Sydney

Ditulis oleh Prof Laksono Trisnantoro


akhir

Kegiatan Kongres Ekonomi Kesehatan Dunia berakhir pada hari Rabu (11/7/2013). Tema yang diangkat kali ini, yaitu Merayakan Ekonomi Kesehatan merupakan kalimat yang sangat menarik untuk direfleksikan. Refleksi ini dilakukan dalam perspektif saya sebagai seorang dokter yang mengambil Master dalam Ekonomi Kesehatan sekitar 25 tahun yang lalu di Inggris.

Selama lima hari kongres di Sydney terlihat bahwa perkembangan ilmu ekonomi kesehatan yang berasal dari pemikiran di negara maju sejak tahun 1960-an semakin berkembang pesat, memang ada perbedaan. Kasus-kasus di negara maju sudah jauh membahas sampai ke berbagai aspek seperti analisis ekonomi tindakan medik, masalah perilaku ekonomi dokter terhadap perubahan pembayaran sampai ke pembayaran asuransi untuk Orphan Drugs dan Personalized Medicine.

Saya perhatikan selama 25 tahun ini, sudah ada regenerasi para ahli ekonomi kesehatan dunia. Nama-nama besar seperti Prof, Abel Smith dari London School of Economics, Prof. Alan Williams dari Faculty of Economics University of York, Prof. Gavin Mooney dari Aberdeen sudah meninggal. Namun regenerasi berjalan sangat baik dimana ada Prof. Anne Millis yang waktu itu masih menjadi asisten Prof Abel Smith, Prof Michael Drummond yang saat ini dikenal sangat luas sebagai ahli evaluasi ekonomi klinik dan pharmaco-economist, serta Prof. Kara Hanson yang masih sangat muda. Disamping itu, banyak ekonom kesehatan muda yang sekarang menjadi pimpinan di berbagai pusat pendidikan ekonomi kesehatan di Australia.

Di negara sedang berkembang, persoalan masih banyak terjadi. Salah satu pertanyaan yang muncul, apakah sistem jaminan kesehatan mampu dibiayai? Hampir seluruh paper mengenai jaminan kesehatan disertai masalah klasik: secara politis ingin ada cakupan yang luas untuk seluruh masyrakat (Univesal Coverage), namun kemampuan pemerintah mendanai masih kurang. Selain itu, terjadi situasi yang menarik: kebijakan membiayai masyarakat untuk Universal Coverage sudah mulai dijalankan, namun masih banyak pembayaran Out-of-Pocket. Filipina, Kamboja, Indonesia, sebagai contoh dari negara yang mengalami hal ini.

Perkembangan ekonomi kesehatan juga terlihat sangat luas, bahkan terkesan menjadi terlalu luas karena menjangkau banyak sekali aspek dalam sektor kesehatan. Anda dapat membaca abstrak-asbtrak yang ada. Memang diakui bahwa ekonomi merupakan ilmu yang dapat ditemui jejaknya di semua aspek kehidupan. Metode ilmu ekonomi yang digunakan juga sangat bervariasi, mulai dari analisis biaya sederhana, sampai ke modeling ekonometrik yang canggih.

relevansi  Refleksi untuk Indonesia

Dari tema yang ada, isu mengenai Universal Coverage akan menjadi hal yang semakin perlu disimak. Tekanan kemampuan pembayaran oleh pemerintah Indonesia dan kebutuhan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke menjadi dilema yang harus dipikirkan dan dilakukan. Bukti-bukti empirik yang dibahas selama Jamkesmas menunjukkan bahwa pengeluaran Out-of-Pocket masih terus berlangsung. Berbagai fakta mengenai status kesehatan dan penelitian menunjukkan bahwa ketidak adilan geografis terjadi, dimana daerah yang tertinggal mempunyai risiko semakin tertinggal dengan adanya BPJS. Akan ada kelompok anggota BPJS yang secara tertulis (data) mendapat hak, namun secara kenyataan tidak karena tidak adanya penyedia pelayanan kesehatan. Ketidakadilan geografis ini akan semakin terasa seandainya sistem BPJS memungkinkan orang kaya mendapat manfaat dari pembiayaan. Maka, diperlukan monitoring yang ketat.

Isu lain yang menarik adalah kemampuan BPJS untuk mengelola sistem yang sangat besar. Kegiatan pre-kongres hari pertama menunjukkan adanya masalah dalam governance untuk mengembangkan universal coverage. Isu ini perlu terus dibahas di dalam konteks beban yang harus ditanggung oleh BPJS.

Perilaku dokter dalam konteks perubahan pembiayaan ke asuransi kesehatan menjadi hal yang perlu diperhatikan lebih seksama. Cukup banyak paper yang membahas mengenai persepsi dan perilaku dokter terhadap perubahan pembiayaan dalam pertemuan ini. Paper-paper ini banyak berasal dari negara maju. Pada intinya, di negara maju para politisinya berpendapat bahwa pembiayaan melalui asuransi kesehatan hanya berjalan baik kalau dokternya juga bahagia.

Hal-hal yang menggembirakan

Dari segi pengembangan ilmu ekonomi kesehatan di Indonesia, sudah ada kemajuan menarik. Sudah ada presentasi dari seorang dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM yang menyajikan makalah tentang ekonomi dari partisipasi masyarakat. Presentasi ini menunjukkan bahwa secara akademik, pengembangan ilmu ekonomi kesehatan yang lintas disiplin sudah ada di fakultas induknya yaitu di ekonomi. Sebagai pandangan pribadi seorang dokter sejak belajar di Inggris sekitar 25 tahun yang lalu, saya berpendapat bahwa sebaiknya pengembangan ilmu ekonomi kesehatan harus dikembangkan di fakultas ekonomi, bukan di fakultas kedokteran. Pengembangan di fakultas kedokteran lebih banyak pada aplikasi ilmunya. Memang diperlukan sebuah program atau unit yang dapat menjembataninya.

Disamping itu pada pertemuan Kongres di Sydney, sudah banyak pembicara dari PT Askes Indonesia yang akan menjadi BPJS Kesehatan di tahun 2014. Hal ini menarik karena BPJS Kesehatan menjadi terpapar dengan dengan berbagai tren internasional yang dibahas di Sydney. Pembicara Indonesia lain banyak berasal dari SurveyMeter sebuah lembaga penelitian swasta di Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa swasta PT Askes/BPJS dan lembaga penelitian swasta dalam penelitian ekonomi kesehatan semakin berkembang.

Hal lain yang menggembirakan, saya memperhatikan banyak pembicara dari Indonesia yang masih muda-muda, usia 20-an dan 30-an. Juga banyak mahasiswa pascasarjana Indonesia yang belajar ekonomi kesehatan di Australia. Mereka adalah generasi baru ekonom kesehatan yang akan mempengaruhi pengembangan dan aplikasi ekonomi kesehatan di Indonesia. Sungguh menggembirakan, apalagi ketika membandingkan situasi 25 tahun yang lalu. Hanya sedikit yang belajar ekonomi kesehatan, bahkan dapat dihitung dengan jari.

 

  Catatan akhir sebagai penutup

Sebagai penutup masih ada beberapa hal yang perlu dicatat untuk dikembangkan. Pertama; tidak banyak staf/pimpinan Kementerian Kesehatan Indonesia (bahkan mungkin tidak ada) yang mengikuti pertemuan ini, termasuk dari Badan Litbang Kesehatan. Sebagai perbandingan; dari Thailand sangat banyak staf peneliti dari lembaga penelitian kebijakan Kementerian Kesehatan yang mengikuti kegiatan ini. Di masa mendatang, diharapkan ada pimpinan dan/atau staf peneliti dari Kementerian Kesehatan yang hadir.

Catatan kedua, jumlah penyaji paper dari universitas di Indonesia masih sangat terbatas. Sebagian besar penyaji makalah dari Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Dalam hal ini ,UGM telah berusaha mendukung universitas lain dengan dukungan dari IDRC. Pada tahun 2012 dilakukan kursus penulisan artikel dan abstrak yang sebagian dikirim ke Sydney sehingga ada dosen Universitas Jendral Sudirman Purwokerto dan Poltekes Kementerian Kesehatan yang berhasil menyajikan presentasi di Kongres. Akan tetapi tetap saja jumlah dan variasi pembicara dari perguruan tinggi di Indonesia masih kurang. Memang masalah mahalnya biaya mengikuti kongres ini menjadi hambatan besar seperti yang terjadi di beberapa dosen yang gagal berangkat karena kesulitan pembiayaan.

Catatan terakhir adalah pengembangan asosiasi ilmu ekonomi kesehatan perlu digiatkan kembali. Berbagai paper menunjukkan bahwa topik dan metode penelitian ekonomi kesehatan semakin berkembang. Hal ini membutuhkan pengembangan serupa di Indonesia dimana setiap tahun diharap ada pertemuan ilmiah ekonomi kesehatan. Diperlukan juga pengembangan ilmu ekonomi kesehatan melalui penerbitan jurnal dan program pelatihan jarak-jauh untuk menjangkau dosen-dosen dan peneliti di ratusan perguruan tinggi ekonomi dan kesehatan di Indonesia. Dengan perkembangan ini diharapkan ada regenerasi ahli ekonomi kesehatan di Indonesia. Harapan besar terletak pada para senior ekonom kesehatan.

Sebagai penutup, Kongres Ekonomi Kesehatan tahun 2014 khusus Eropa akan dilakukan di Dublin, Irlandia. Sementara itu untuk World Congress berikutnya akan diselenggarakan di Milan, Italia pada tahun 2015. Setelah ini laporan reportase kongres ini terus disusun oleh tim dan akan dilakukan analisis abstrak-abstrak untuk bahan pembelajaran.

Sebagai penanggung-jawab tim UGM yang berangkat ke Sydney, saya mengucapkan terima kasih kepada para anggota tim yang telah bekerja keras untuk menyusun laporan Kongres Ekonomi Kesehatan Dunia di Sydney. Silahkan mengikuti terus Laporan Kongres dan analisisnya melalui web. Semoga berguna untuk kita semua.

- Salam dari Sydney yang dingin -

   Laksono Trisnantoro

Laporan dari Kongres Dunia ke-9

International Health Economics Association (iHEA)

Sydney, 10 Juli 2013


Laporan Pengantar Kongres:

Pada hari Rabu, 10 Juli 2013 peserta dari PKMK FK UGM kembali telah memilih beberapa topik menarik sesuai dengan konteks terkini yang bisa diterapkan dalam kebijakan kesehatan di Indonesia. Untuk hari ke-4 ini, peserta yang terlibat dalam reportase pembahasan dan diskusi kongres dunia Ekonomi Kesehatan ini adalah:

  1. Prof. Laksono Trisnantoro, dengan topik Network in Health Economics (Sesi pukul 10.15 -11.30)
  2. Ni Komang Yuni Rahyani, dengan topik Measuring Universal Health Coverage: Health Service Utilization and the Financial Burden of Health Payments in Asia (Sesi pukul 8.30 - 9.45)
  3. Siti Mafsiah, dengan topik Utilization in Health (Sesi pukul 11.45 - 13.00)
  4. Prof. Alimin, dengan topik Financial Incentives in Health (Sesi Pukul 11.45 - 13.00)
  5. Deni Harbianto dengan topik Health Care Utilizations (Sesi pukul 15.45 - 17.00)
  6. dr. Tiara Marthias (Sesi pukul 8.30 – 09.45)

Selain itu, pada hari ini juga terdapat 1 pleno sore penutup kongres yang tidak kalah menariknya untuk diikuti, yaitu Worms at Work: Public Finance Implications of a Child Health Investment yang dipresentasikan oleh Michael Kremer, Gates University of Developing Societes, dari Harvard University. Pleno tersebut akan direportasekan dr. Tiara Marthias.

 

Session Tittle:
Economic of Prevention

 


Silahkan simak paper menarik yang dipaparkan dalam sesi ini.

SESI 1: Apakah suplemen pre-natal vitamin dan mineral meningkatkan risiko berat badan bayi lahir?
(Oleh Rachel Webb (University of Canterbury. Department of Economics and Finance)).


Paper ini mencoba mengevaluasi apakah suplemen pre-natal vitamin dan mineral meningkatkan risiko berat badan bayi lahir dan mempertimbangkan aspek ekonominya. Paper ini menarik untuk dilihat karena Indonesia memiliki kebijakan yang serupa yaitu pemberian suplemen zat besi pada wanita hamil pada trimester ke-3.

Penelitian ini telah dilaksanakan di Selandia Baru. Latar belakang penelitian yaitu suplemen vitamin pre-natal dan mineral umumnya diresepkan selama kehamilan untuk mempromosikan pertumbuhan dan perkembangan janin. Pada tahun 2011, 59.5 persen wanita di Selandia Baru diberi resep beberapa bentuk suplemen selama kehamilan dan 43.5 persen diberi resep suplemen zat besi. Biaya pemerintah Selandia Baru untuk menutupi subsidi dari suplemen zat besi adalah sekitar $ 75.000 per tahun. Literatur medis memberikan bukti bahwa mengonsumsi suplemen pra-kelahiran memiliki efek positif pada berat lahir. Namun, berdasarkan asusmsi peneliti, pertanyaan apakah efek ini meningkatkan berat lahir mungkin memiliki konsekuensi negatif meningkatkan risiko berat lahir tinggi belum dijawab.

Makalah ini menguji pengaruh suplemen pre-natal terhadap risiko bayi berat lahir tinggi, dengan fokus khusus pada efek suplemen zat besi. Data dari Departemen Kesehatan Selandia Baru memaparkan bahwa pada semua mineral dan suplemen vitamin diresepkan selama kehamilan dan mengakibatkan berat badan lahir. Kemudian analisis regresi digunakan untuk mengetahui efek ini.

Data mencakup semua kelahiran di Selandia Baru pada 2003-2011 dan berisi informasi demografis, sosio-ekonomi, dan medis tentang ibu dan bayi. Etnis ibu, usia, paritas, kelompok berat badan, kekurangan, wilayah dan rurality tempat tinggal, dan status merokok dikendalikan dalam analisis regresi serta jenis kelamin bayi, tahun dan musim kelahiran, dan trimester pendaftaran dengan pengasuh bersalin. Pendekatan variabel Instrumental digunakan untuk mengatasi potensi masalah endogenitas untuk suplementasi besi dengan harga yang efektif setelah subsidi berbagai merek suplemen zat besi dan ketersediaan mereka pada Jadwal Farmasi NZ yang dikelola oleh lembaga pengelolaan farmasi Selandia Baru (PHARMAC) digunakan sebagai instrumen.

Hasil probit menunjukkan bahwa sementara sebagian besar suplemen tidak memberi efek atau dampak terbalik terhadap risiko berat lahir tinggi, suplementasi zat besi pada trimester ketiga kehamilan secara substansial dapat meningkatkan risiko berat lahir tinggi. Mengambil suplemen zat besi pada trimester ketiga kehamilan meningkatkan kemungkinan memiliki bayi berat lahir tinggi dengan 0,46 poin persentase, yang setara dengan sekitar 18 persen peningkatan dari resiko dasar. Untuk setiap 100 mg unsur besi yang diambil pada trimester ketiga kehamilan risiko berat lahir tinggi meningkat sebesar 0,0079 persen. Namun, analisis variabel berperan memberikan hasil yang bertentangan, di mana suplemen zat besi tampaknya tidak memiliki pengaruh yang signifikan meningkatkan risiko berat lahir tinggi.

Berdasarkan hasil paper tersebut pemberian suplemen pre-natal perlu untuk dipertimbangkan kembali. Untuk mencoba mengaplikasikannya pada konteks Indonesia mungkin harus dilakukan beberapa analisis terlebih dahulu. Indonesia dan Selandia Baru memiliki kondisi dan situasi yang berbeda yang berpengaruh terhadap kondisi pre-natal, seperti sosial, ekonomi, budaya, dan gaya hidup. Secara sosial ekonomi Selandia Baru merupakan negara lebih maju dengan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari pada Indonesia. Hal ini tentu akan berimplikasi pada daya beli masyarakat yang berbeda terhadap baik itu makanan, akses kesehatan serta fasilitas lain yang berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan bayi. Budaya dan gaya hidup juga berpengaruh, bagaimana pola makan dan intake nutrisi sehari hari masyarakat akan mempengaruhi sejauh mana nutrisi prenatal di suatu negara secara makro. Ada kemungkinan pengaruh sumplemen zat besi pada prenatal yang tidak berpengaruh terhadap berat bayi lahir tinggi tersebut adalah karena kebutuhan zat besi ibu hamil sudah tercukupi dari intake makanan sehari-hari. Namun akan lebih baik juga jika penelitian ini juga dilakukan di Indonesia, sehingga dapat memastikan hipotesi dan asumsi yang ada..

 

SESI 2: Evaluasi ekonomi dari intervensi cluster-randomized trial untuk meningkatkan praktik tenaga kesehatan dalam diagnosis dan penanganan malaria tidak kompleks di Cameroon
(Oleh Lindsay Mangham-Jefferies (London School of Hygiene & Tropical Medicine. Department of Global Health and Development)).


Paper ini mencoba mengevaluasi efisiensi dan efektivitas dari pengobatan malaria serta mencari beberapa solusi alternative penggantinya. Paper ini menarik untuk dilihat di Indonesia karena Indonesia juga menerapkan kebijakan yang sama terhadap pengobatan malaria, yang merupakan standar gold dari WHO.

Latar Belakang penelitian ini adalah adanya pedoman pengobatan malaria WHO yang merekomendasikan konfirmasi parasitologi pada semua pasien demam sebelum pengobatan diresepkan. Pemodelan ekonomi telah menunjukkan bahwa tes diagnostik cepat malaria (RDT) sangat hemat biaya, dibandingkan dengan diagnosis dugaan dan diagnosis menggunakan mikroskop, dengan asumsi pengobatan petugas kesehatan berdasarkan hasil tes yang akurat. Penelitian formatif dilakukan di fasilitas umum dan tertentu di Kamerun dimana hasilnya mempertanyakan validitas asumsi ini, karena banyak tenaga kesehatan meresepkan kepada pasien antimalaria yang diuji negatif untuk malaria. Bekerja dengan Departemen Kesehatan peneliti merancang program pelatihan dasar dan ditingkatkan untuk mendukung roll out RDT malaria. Kedua program tersebut dimaksudkan untuk membekali petugas kesehatan dengan pengetahuan dan keterampilan praktis yang diperlukan untuk tepat mendiagnosa dan mengobati malaria, meskipun ditingkatkan tentu mengandung kegiatan tambahan dan menggunakan metode interaktif untuk mempromosikan perubahan dalam memberikan resep. Uji coba dengan three-arm cluster-randomized trial dilakukan untuk menilai efektivitas biaya, memperkenalkan RDT malaria dengan pelatihan dasar atau ditingkatkan dibandingkan dengan praktek saat ini, dan meningkatkan pelatihan tiga hari dibandingkan dengan satu hari paket pelatihan dasar.

Variabel hasil utama dari penelitian ini yaitu jumlah proporsi pasien yang datang ke fasilitas kesehatan dan melaporkan demam atau dicurigai malaria dan menerima perawatan sesuai dengan pedoman. Pasien ini akan diuji untuk malaria, yang anti malaria dianjurkan untuk diresepkan untuk kasus yang dikonfirmasi, dan tidak ada anti malaria yang akan diresepkan untuk pasien dengan hasil tes negatif.

Biaya intervensi pelatihan diperkirakan dengan menggunakan laporan proyek dan wawancara dengan staf. Keuangan yang dimulai tahun awal sampai empat tahun dengan tingkat diskon tiga persen, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa materi pelatihan akan tetap relevan untuk minimal empat tahun. Biaya diagnosis malaria dan pengobatan diperkirakan untuk setiap individu dari operator dan perspektif masyarakat menggunakan data survei, catatan fasilitas, dan wawancara dengan petugas kesehatan. Semua biaya yang diperkirakan dalam mata uang lokal (CFA) dan dikonversi ke dolar AS pada harga 2011.

Analisis awal mengidentifikasi korelasi intra-kluster, korelasi antara biaya dan efek, dan biaya minimum yang perlu diperhitungkan. Analisis sensitivitas akan dilakukan. Akhirnya, model keputusan-analitis akan memperkirakan expected costs and effects pada titik akhir, untuk memperkirakan biaya per kematian yang dapat dihindari dan biaya per DALY.

Hasil akhir ditemukan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan malaria pada kelompok intervensi jauh lebih kecil dari pada kelompok kontrol (dimana ketika kelompok yang mendapat enhanced packet of treatment dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan basic treatment memiliki selisih 11.29 $, basic dengan kontrol 40.94 $, dan enhanced dengan kontrol 23.32 $).

Penelitian ini sangat relevan untuk dilakukan di Indonesia guna mengevaluasi kembali efektifitas dan efisiensi pengobatan malaria. Indonesia sebagai salah satu negara tropis memiliki angka morbiditas malaria yang tinggi pada daerah-daerah tertentu. Efisiensi pengobatan malaria akan membantu mengurangi health expenditure, ataupun mengalihkan pada pos kesehatan lain yang lebih membutuhkan.

Session Title: Delivering Aid for Health

Chair : Duncan Mortimer, Monash University

 


 

Dalam sesi ini, telah dipaparkan beberapa paper menarik.

SESI 1: The Future of Aid in the Asian Century: Is Aid Effectiveness Still Relevant to the Asia Pacific Region?.
(Rebecca Dodd, AusAID Health Resource Facility )


Kekuatan ekonomi dan politik bergeser ke kawasan Timur (Asia) dan memiliki dampak yang besar dalam pembangunan kawasan: tingkat ketergantungan pembangunan terhadap donor telah menurun di sebagian besar wilayah tetapi masih ada sedikit donor di beberapa negara. Arah ekonomi telah berubah, contohnya Cina, telah menjadi donor, dan menantang konsep-konsep Barat. Deklarasi Paris dan prinsip-prinsip efektivitas untuk bantuan kesehatan terus dikembangkan terutama untuk negara-negara dengan tingkat ketergantungan dengan donor masih tinggi.

Aliran bantuan yang besar pada tahap substansial dapat mendistorsi prioritas pembangunan pemerintah, karena sebagian besar pendonor membuat, memprediksi hasil, mengelola dana dan pembuatan laporan bantuan dengan birokrasi yang sangat rumit. Lemahnya kapasitas dan tata kelola yang buruk di banyak negara penerima juga akan mempengaruhi sistem pendanaan kesehatan negara. Konteks seperti itu masih ada di kawasan Asia, tetapi saat ini sudah semakin berkurang.

Makalah ini berpendapat bahwa bantuan yang efektif dan tetap relevan kepada pedoman kerangka kerja kebijakan bantuan global, harus perlu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di berbagai daerah, termasuk Asia Pasifik. Adaptasi sangat mendesak dilakukan. Efektifitas program harus benar benar sempurna dan dikaitkan dengan eksistensi program kesehatan umum nasional. Sehingga harapannya tidak terlihat ketimpangan kesuksesan program hanya pada satu sisi saja, tetapi lebih universal, terutama di negara negara berpenghasilan rendah-menengah.

 

SESI 2: Has Health Systems Strengthening Survived in the Transitional Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria?.
(Peter Hill (University of Queensland. School of Population Health))


Pada tahun 2005, melalui suatu pilot study dibeberapa negara, Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI) melihat adanya suatu ketidakmajuan dalam pembangunan kesehatan paska didanainya beberapa program kesehatan oleh pendonor seperti GAVI dan Global Fund. Global Fund mengusulkan serupa jendela pendanaan. Dari hasil penelitian juga menyatakan bahwa peningkatan besaran dana yang diluncurkan pasca 2005 jika hanya untuk jenis penyakit tertentu justru akan membawa dampak buruk dalam pembangunan kesehatan secara umum. Global Fund kemudian membuat suatu inisiatif program dengan mengarahkan kepada pembangunan universal kesehatan melalui penguatan sistem kesehatan. Program berbasis penyakit terbukti sukses untuk meningkatkan penurunan prevalensi penyakit bersangkutan, tetapi tidak ada dampaknya untuk pembangunan kesehatan secara universal. Status kesehatan umum tidak terlihat secara signifikan mengalami perbaikan. Selama ini dikenal Global Fund hanya untuk memerangi TB, Malaria dan AIDS, GAVI untuk imunisasi dan Pendonor besar lainnya seperti World Bank untuk pembangunan kesehatan umum. Ketiganya harus memikirkan suatu terobosan inovatif agar dapat terintegrasi dalam memberikan bantuan. Dalam rangka mencapai target MDG 2015 dan Universal Coverage, tidak ada lagi peran individual dalam pendanaan, yang ada adalah peran yang terintegratisi antara pendonor untuk mencari solusi yang tepat bagi pembangunan kesehatan secara umum di berbagai belahan dunia.

 

  Relevansi Untuk Indonesia

Bantuan untuk pembangunan kesehatan sedang dalam masa ketidakpastian dan perubahan. Bantuan yang 'booming' dalam beberapa waktu terakhir dan peningkatan empat kali lipat, telah berakhir dengan krisis keuangan global. Pemodal besar seperti Global Fund untuk memerangi AIDS, TB dan Malaria (GFATM) dan Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI) telah dikritik telah mendistorsi pembiayaan sektor kesehatan karena hanya mendukung penyakit tertentu. Saat ini, mereka mengevaluasi ulang peran mereka dalam pendanaan kesehatan dengan penekanan kepada kesehatan global yang lebih besar dan lebih kepada penguatan sistem kesehatan.

Donor baru, terutama dari kawasan Asia, akan mengubah lanskap politik dan menantang konsep tradisional peran bantuan negara barat. Satu dekade sejak Global Forum on Aid-Effectiveness menyerukan koordinasi yang lebih terpadu antara donor dan penerima bantuan. Maka, ada hal yang harus diperbaharui terutama dalam hal pengawasan mengenai apakah upaya untuk peningkatan donor memiliki dampak terhadap status kesehatan. Banyak ahli yang menyatakan perlunya mekanisme koordinasi antar bantuan dengan melibatkan peranan pemerintah yang lebih luas dan tanpa campur tangan politik.

Indonesia termasuk negara yang masih mengandalkan donor luar negeri sebagai bagian dari sumber pendanaan kesehatan. Seperti dibahas diatas, dinyatakan bahwa keberlangsungan dari dana tersebut sudah mulai berkurang. Harapannya bahwa kebijakan kesehatan Indonesia harus lebih mendorong kepada pemanfaatan dana lokal. Komitmen daerah harus lebih ditingkatkan, karena donor tersebut tidak langgeng dan hanya terarah kepada jenis program tertentu. Butuh dorongan financial bersama antara pusat dan daerah yang kuat agar status kesehatan secara universal menjadi lebih baik

Penulis: Deni Harbianto

 

  • angka jitu
  • toto 4d
  • toto
  • toto macau
  • rtp live slot
  • bandar togel 4d
  • slot dana
  • toto sdy
  • toto slot
  • slot gacor
  • togel sidney
  • live draw sgp
  • bandar togel
  • toto macau
  • bandar slot
  • toto togel
  • togel4d
  • togel online
  • togel 4d
  • rajabandot
  • toto macau
  • data toto macau
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • bandar slot
  • judi online
  • nexus slot
  • agen slot
  • toto 4d
  • slot777
  • slot777
  • slot thailand
  • slot88
  • slot777
  • scatter hitam
  • toto slot
  • slot demo
  • slot777
  • toto 4d
  • toto slot
  • agen slot
  • scatter hitam
  • slot 4d
  • bandar slot/
  • bandar slot/
  • toto slot
  • mahjong slot
  • slot jepang
  • slot777
  • slot dana
  • slot dana
  • toto slot
  • bandar slot
  • scatter hitam
  • toto slot
  • slot 2025
  • toto slot
  • bandar slot
  • agen slot
  • slot dana
  • slot777
  • bandar slot
  • slot thailand
  • toto slot
  • slot resmi
  • togel4d
  • slot resmi
  • KW
  • slot online
  • slot gacor
  • slot88
  • slot
  • situs slot
  • slot777
  • slot gacor
  • pgsoft
  • mahjong
  • slot demo
  • slot 4d
  • slot scater hitam
  • judi online
  • bandar slot
  • bandar slot gacor
  • slot vip
  • demo slot
  • slot bet kecil
  • slot bet 400
  • slot gacor