SIMPOSIUM NASIONAL DAN MUSYAWARAH KERJA NASIONAL XII
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia

"Penguatan Kepemimpinan Berwawasan Kesehatan Masyarakat
melalui Peningkatkan Mutu & Peran Tenaga Kesehatan Masyarakat"

Pontianak, Kalimantan Barat
8 – 10 Juli 2012

materisym

LATAR BELAKANG

Pembangunan kesehatan Indonesia belum mengalami perbaikan yang signifikan. Menurut UNDP, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2011 menempatkan Indonesia di posisi 124 dari 177 negara, masih di bawah negara-negara ASEAN. Selain itu, beberapa target MDGs juga belum mencapai target. Masalah bertambah rumit karena terjadinya disparitas status kesehatan di berbagai daerah. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah antara lain dengan memberlakukan sistem desentralisasi atau otonomi daerah. Namun, kebijakan tersebut kini mu-lai menimbulkan kekecewaan. Banyak daerah justru mengalami kemunduran karena komitmen politik pemerintah daerah yang belum menjadikan pembangunan kesehatan sebagai prioritas utama pembangunan. Kondisi seperti ini dapat dipahami mengingat masih lemahnya Public Health Leadership baik di tingkat nasional maupun lokal.

Melihat kompleksitas permasalahan yang ada, dibutuhkan upaya dari seluruh elemen bangsa untuk memperkuat pembangunan kesehatan. Atas dasar tersebut Pengurus Pusat Ikatan Ahli kesehatan Masyarakat Indonesia akan menyelenggarakan Simposium Internasional sekaligus Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) XII IAKMI. Kegiatan ini juga merupakan ajang pertemuan ilmiah yang menghadirkan akademisi, peneliti, praktisi, pemerintah pusat dan daerah serta mahasiswa untuk memberikan solusi dan rekomendasi terhadap kesehatan bangsa.

TEMA

"Penguatan Kepemimpinan Berwawasan Kesehatan Masyarakat melalui Peningkatkan Mutu & Peran Tenaga Kesehatan Masyarakat"

 TOPIK PLENO/SIMPOSIUM

  • Kepemimpinan Berwawasan Kesehatan Masyarakat dalam Mempercepat Pencapaian MDGs
  • Reformasi Mutu Tenaga Kesehatan Masyarakat melalui Sertifikasi Tenaga Kesehatan Masyarakat
  • Pengobatan Tradisional, Komplementer dan Alternatif Sebagai Salah Satu Pendekatan Promo-tif dan Preventif untuk Meningkatkan Derajat Kesehatan Masyarakat
  • Upaya Pengendalian Penyakit Tidak Menular
  • Kesiapan BPJS Melaksanakan Jaminan Kesehatan dalam Rangka Menuju Universal Coverage

 

WAKTU DAN TEMPAT

Waktu : Minggu-Selasa 8-10 Juli 2012

Tempat : Hotel Kapuas Palace Pontianak Kalimantan Barat

 KEYNOTE SPEAKER

 Menteri Kesehatan RI

 

PEMBICARA

Menteri PPN, Kepala BKKBN, Duta MDGs Indonesia, Gubernur Kalbar, WHO Geneva, WHO INO, Dirjen Dikti Kemdikbud, Ka Badan PPSDM, Direktur Tradkom Kemenkes, Litbangkes Kemenkes, PT Sido Muncul, UNFPA, UGM., PT Askes

CALL FOR PAPER

Akademisi, peneliti, praktisi, pemerintah/swasta, mahasiswa dipersilakan mengirim abstrak untuk dipresentasikan pada sesi paralel. Isi abstrak memuat latar belakang, metode, hasil dan kesimpulan. Panjang abstrak maksimal 500 kata, huruf times news roman ukuran 12, spasi 1,5, format doc/pdf. Kirimkan abstrak ke This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. dan This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it..

TOPIK MAKALAH

Topik abstrak secara umum terbuka meliputi bidang ilmu kesehatan masyarakat dengan pene-kanan pada beberapa aspek berikut::

  1. Mutu Tenaga Kesehatan Masyarakat
  2. Kepemimpinan Berwawasan Kesehatan Masyarakat
  3. Upaya Preventif dan Promotif dalam Penanggulangan Penyakit Tidak Menular (PTM
  4. Jaminan Kesehatan Semesta dan Pembiayaan Kesehatan
  5. Kependudukan, Kesehatan Reproduksi, HIV dan AIDS
  6. Pengobatan Tradisional, Komplementer dan Alternatif
  7. Determinan Sosial Kesehatan

 TANGGAL PENTING

21 Mei Penerimaan Abstrak Dimulai

21 Juni Deadline Pengiriman Abstrak

25 Juni Pengumuman Hasil Abstrak

6 Juli Deadline Pengiriman Makalah

8 Juli Pre Simposium/Training

9-10 Juli Pelaksanaan Simposium & Mukernas XII.

 

Download :

Leaflet Mukernas.pdf

PERTEMUAN JEJARING EPI-4

ANALISA KESENJANGAN PENCAPAIAN MDG 4, 5 & 6 DI INDONESIA
DALAM UPAYA PENCAPAIAN TARGET TAHUN 2015

SUSUNAN ACARA
Selasa, 5 Juni 2012 : MDG 4 dan 5

 

Waktu

Acara

Penyaji Materi

09.00 – 09.15

Pembukaan

Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA

(Dr. H. Slamet Yuwono, MARS, DTM&H)

09.15 – 10.00

Sesi I : Presentasi dan diskusi panel

Situasi terkini terkait MDG 4 & 5

  1. Pencapaian MDG 4 & 5 saat ini
  2. Kebijakan dalam Percepatan Pencapaian target MDG 4 & 5

Moderator : Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs (Prof. Dr. Nila Djuwita F. Moeloek, dr., Sp.M(K))

Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA (Dr. H. Slamet Yuwono, MARS, DTM&H)

epi2

10.00 – 10.30

Rehat

 

10.30 – 11.00

Lanjutan Diskusi Sesi I

Moderator : Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

epi1

11.00 – 12.00

Sesi II: Presentasi dan Diskusi Kegiatan EPI – 4

  1. Pengantar : Kegiatan EPI-4 di China, India, Indonesia, Vietnam
  2. Hasil Kegiatan Review dan Analisis data EPI-4 di Indonesia terkait MDG 4 dan 5

Moderator : drg. Dibyo Pramono, SU, MDSc.

Koodinator EPI – 4
(Sarah Thomsen, Ph.D – Karolinska Institute, Sweden)

ftepi3

Peneliti EPI – 4
(dr. Nawi Ng., MPH, Ph.D / Prof. Lars Weinehall, Ph.D – Umea University, Sweden)

12.00 – 13.00

Makan Siang

 

13.00 – 14.00

Sesi III : Diskusi Kelompok I

Sintesis Hasil Kegiatan EPI – 4

Peserta

14.00 – 15.00

Sesi IV : Diskusi Kelompok II

Perumusan Policy Brief dan Rencana Tindak Lanjut

Peserta

15.00 – 15.30

Rehat

 

15.30 – 16.00

Pleno

Moderator : Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

16.00 – 16.15

Penutupan

Prof. dr. Hari Kusnanto, Dr.PH

 

 

4th International Conference on
The History of Medicine in Southeast Asia (HOMSEA 2012)
http://www.fas.nus.edu.sg/hist/homsea/conference.html

To be held in Solo (Surakarta)
2-5 July 2012
to coincide with
IAHA 2012 (International Association of Historians of Asia)

Organised by:
PERSEKIN
(Perhimpunan Sejarah Kedoktoran Indonesia /
Indonesian Association of the History of Medicine)

With support from:
The University of Indonesia
KITLV
University of Sydney
The Canada Research Chair in Health Care Pluralism, Université de Montréal (Canada)

Program HOMSEA

Monday 2 July

1.30 – 2.00 pm

Opening

Rethy Chhem , president HOMSEA

Kartono Mohamad, president PERSEKIN

Wang Gungwu, NUS, TBC

2.00 – 3.30 pm

 

Disease and Political (In)stability

Chair:

  1. Promoters of Health, Preachers of Consciousness: The Philippine Islands Anti-Tuberculosis Society and its Crusade Against Spitting in the American Philippines, 1910-1946
    Aaron Rom O. Moralina, Ateneo de Manila University
  2. A Pox on the House of Nguyen: The Social and Political Effects of Smallpox on the Last Royal Dynasty of Vietnam
    Michele Thompson, Southern Connecticut State University
  3. Komiks and Public Health Policies during the Japanese Occupation Period in the Philippines
    Karl Ian Uy Cheng Chua, Ateneo de Manila University

3.30 – 4.00 pm

break

4.00 - 5.00 pm

Medical Professionalization and Nation-Building

Chair:

  1. Healers in the Medical Marketplace: Traditional Medical Practitioners, Medicosand Licensed Physicians in Nineteenth Century Philippines
    Mercedes Planta
  2. Reflections on Medicine’s Modernist Project in Indonesia
    Mary-Jo Delvecchio Good, Harvard University

5.00 – 6.00 pm

HOMSEA Plenary Address

Chair:

The Unending Dialogue of Past and the Present in Medicine
Firman Lubis, University of Indonesia 

7.00 – 9.30 pm

Opening Ceremony

 

Tuesday 3 July

 8.00 – 10.15 am

Plenary Session IAHA

10.15 – 10.30 am

Break

10.30 – 12.30 am

Medical Education in Indonesia

Chair:

  1. Indonesian Medical Education: The Role of the SEARO, International Aid, and the Implementation of Public Health during the 1950s
    Vivek Neelakantan, University of Sydney
  2. Midwifery Education inDutch East Indies, 1850-1915
    Liesbeth Hesselink, Independent Scholar
  3. The Oldest Medical School in Indonesia
    S. Somadikarta, University of Indonesia

Commentator: John Harley Warner, Yale University

12.30 – 1.15 pm

Lunch

1.15 – 3.15 pm

Traditional Medicines in Southeast Asia, I

Chair: 

  1. Continuity and Changes: The Evolution of Burmese Traditional Medicine
    CéCoderey, IRSEA, Marseille 
  2. Making Medicine, Materializing a Cure:the Therapeutic Efficacy of Shamanic Based Healing Among the Orang Sakai of Riau (Sumatra)
    Nathan Porath, Pechabun Rajhabat University 
  3. Indigenous Medical Traditions in a Frontier Society
    Sebastianus Nawiyanto, University of
  4. as Curer and Converter: History of Islamic Medicine in Early Indonesia
    Jennifer W. Nourse, University of Virginia

3.15 – 3.45 pm

Break

3.45-4.45 pm

Traditional Medicines in Southeast Asia, II

  1. The Undeclared War: Combating Malaria and Dysentery and Reviving Indigenous Medicine in the Philippines during the Japanese Occupation Period
    Arnel E. Joven, University of Asia and the Pacific

Commentator: C. Michele Thompson, Southern Connecticut State University

4.45 – 5.45 pm

HOMSEA Plenary Address

Exile and Healing: The Boven Digoel camp in the Dutch East Indies, 1927-1943
Rudolf Mrázek, University of Michigan, Ann Arbor

7.00 – 9.00 pm

HOMSEA Dinner

 

Wednesday July 4

8.00 – 9.00 am

Institutions for Health, from Public to Private Endeavours

Chair:

  1. Revisiting Bilbid and Iwahig: Prison Hospitals in the American Occupied Philippines
    Francis Gealogo, Ateneo de Manila University
  2. Non-State Hospitals in Indonesia: The Evolutive Change since the Colonial Period
    Laksono TrisnantoroBaha’uddin, Universitas Gadjah Mada

9.00 – 10.00 am

HOMSEA Plenary Address

‘Cholera’ Before and After 1817 in Indonesia
Peter Boomgaard, KITLV

10.00 – 10.30 am

Break

10.30 am – 12.30 pm

Leprosy in Southeast Asia

Chair: 

  1. United States Policy on Leper Segregation in the Philippines,1906-1935
    Antonio C. Galang, Jr., University of the
  2. Comparing Leprosy in Two Dutch Colonial Contexts
    Frank Huisman, Utrecht
  3. Leprosy in the Dutch East Indies: The Medical Debate on Hereditarianism and Contagionism
    Leo Van Bergen, KITLV

Commentator: Warwick Anderson, University of Sydne

12.30 – 1.15 pm

Lunch

1.15 – 2.15 pm

Mobility, Morbidity and Urban Settings

Chair:

  1. Public Health Organization in Modern Bangkok: Rulers’ Thinking, External Pressures and Habitants’ Reaction
    Nipaporn Ratchatapattanakul, Thammasat
  2. Two Birds with One Stone: Health Concerns in the Process of Urban Transport “Modernization” in American-Occupied Manila
    Michael D. Pante, Ateneo de Manila University

2.15 – 3.45 pm

Workshop on the History of Psychiatry in Indonesia

Byron Good, Mary-Jo Delvecchio Good, Hans Pols, Denny Thong and others

3.15 – 3.45 pm

Break

3.45 – 6.00 pm

Solo Batik Festival

7.00 – 9.00 pm

Dinner hosted by the Mayor of Solo

 

Thursday 5 July

8.00 – 10.00 am

Circulation and Construction of Medical Knowledge in Southeast Asia

Chair:

  1. Southeast Asian Medicine in the 18th Century: Notes from Linnaean Travel Accounts
    David Dunér, Lund
  2. Visualizing the Geography of Diseases in East Asia, 1870s-1930s
    Marta Hanson, Johns Hopkins
  3. Social Institutions as Moderators of Cross-Cultural Knowledge Transfer: The Dutch East India Company in Pre-Colonial Southeast Asia
    Matthew Sargent, University of California,
  4. Exploiting Quinine: From the Tropical Forests of the Andes to the Government Plantations of the Dutch East Indies, 1850-1900
    Arjo Roersch van der Hoogte and Toine Pieters, Utrecht University

10.00 – 10.30 am

Break

10.30 am – 12.30 pm

Doctors, Migrations and Medical Practice

Chair:

  1. Dr. Tung goes to China: Revisiting Ton That Tung's Travels in the Socialist World, 1951-75
    Michitake Aso, National University of
  2. A Doctor and a Reformer: Dr. Willem Bosch on the Welfare of Java 1851-1869
    Rupalee Verma, University of Delhi TBC* 
  3. Czech Physicians in the Dutch East Indies
    Jan Mrázek, National University of Singapore

12.30 – 1.15 pm

Lunch

1.15 – 3.15 pm

Global Movements, Local Concerns

Chair:

  1. Cattle for the Colonizers: Veterinary Medicine in French Indochina
    Annick Guénel and Sylvia Klingberg, CASE (Centre Asie du Sud-Est), CNRS-
  2. Approaches to Women’s Health in Laos, 1969-2000
    Kathryn Sweet, National University of Singapore
  3. The Tropical Persists?: The ROK (Republic of Korea) Military and its Public Health in the Vietnam Context, 1965-1973
    John Di Moia, National University of
  4. Of Ethics and Profit: Opium Addiction as Health Issue in the Late Colonial Indonesia, 1910s-1940
    Abdul Wahid, Utrecht University/UGM Yogyakarta

3.15 – 3.45

Concluding remarks

4.00  – 5.30 pm

Trip to Prambanan Temple

6.00 – 7.00 pm

Dinner

7.00 – 9.00

Prambanan Ballet Dance

 

Friday 6 July

Excursion

Organized by PERSEKIN (Perhimpunan Sejarah Kedoktoran Indonesia; Indonesian Association of the History of Medicine)

Informasi lebih lanjut pada : http://www.fas.nus.edu.sg/hist/homsea/conference.html

 

 

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III Laporan Hari IV Laporan Hari V

 

Laporan Strategies for Private Sector and Engagement in Health

Seperti biasa, peserta membuat ringkasan dari hari kemarin. Hal ini merupakan keuntungan lebih bagi peserta karena kemarin kelas terbagi dalam dua kelompok (kelompok UMIC dan kelompok LMIC), dan mereka juga terbagi ke dalam kelompok pada saat kunjungan lapangan. Dengan demikian peserta tetap mendapat gambaran umum dari kelompok-kelompok lain.

Ringkasan dari kunjungan lapangan dari kelompok lain kemarin adalah:

  1. Friendly Care

    Ini merupakan jaringan (terdiri dari 6 klinik) penyediaan layanan dasar untuk kelompok middle class, dengan berbagai pelayanan untuk family planning and reproductive health, termasuk konsultasi spesialis, laboratory services, diagnostic, radiology, physical mobile clinics, some minor surgery, etc. Friendly Care mengenakan biaya hanya sepertiga dari harga umum, hanya utk BEP. Mereka tidak mendapat dana dari pemerintah dan mereka merupakan organisasi nirlaba, sehingga biaya yg mereka kenakan hanya untuk menutup BEP, sekitar sepertiga dari harga sector swasta pada umumnya.

  2. Well-Family midwive clinic

    Menyediakan franchise pelayanan untuk ibu hamil dan melahirkan, saat ini terdiri dari 137 klinik kebidanan. Keuntungan menjadi anggota franchise ini adalah mereka mendapat pelatihan (di awal mau pun untuk refreshing/upgrading), peralatan (bisa dipinjam atau dibeli) dan sudah terakreditasi PhilHealth sehingga bisa melayani pasien yg di-cover PhilHealth. (PhilHealth akan membayar P1,500 untuk ANC, P8,000 untuk melahirkan, dengan catatan: hanya dibayar P650 jika ibu yg melahirkan ini merupakan hasil rujukan dari rumah bidan (tujuannya: memotivasi bidan untuk mengusahakan agar ibu melahirkan di fasilitas, bukan di rumah - lalu menunggu situasi darurat sebelum dirujuk ke fasilitas), dan P1,550 untuk post-natal care). Biaya yg dikenakan (untuk pasien yg belum di-cover PhilHealth) lebih rendah juga dari biaya umum (swasta) tetapi lebih tinggi dari biaya di sector pemerintah. Biasanya pasien yg dilayani berasal dari kelompok menengah ke bawah.

Setelah itu, kembali sesi diisi dengan penjelasan mengenai salah satu tools lain, kali ini membahas dari sisi konsumen, dengan menggunakan instrument pembiayaan.

Demand Side Financing (Malabika Sarker)

vaKonsep yg mendasari pentingnya tools ini adalah pembiayaan berbasis hasil, artinya mengaitkan insentif dengan kinerja tertentu. Konsep ini bisa diterapkan baik di sisi supply (performance based financing, misalnya), mau pun di sisi demand (conditional/unconditional cash transfer dan vouchers, misalnya).

Cash transfer biasanya diberikan ke rumahtangga baik menggunakan prasyarat tertentu (jika ibu menggunakan layanan kesehatan selama masa kehamilan dan melahirkan dan pasca melahirkan, misalnya) atau pun tanpa prasyarat tertentu (misalnya memberikan tambahan pendapatan bulanan untuk rumahtangga). Pengalaman di beberapa Negara berkembang menunjukkan bahwa conditional Cash Transfer (CCT) memiliki potensi untuk menstimulasi demand terhadap pelayanan kesehatan, sementara unconditional cash transfer biasanya lebih ditujukan untuk penanggulangan kemiskinan secara umum. Keberhasilan CCT akan sangat bergantung pada nilai uang yg diberikan ke rumahtangga, bagaimana mekanisme pemberiannya, bagaimana enforcement terhadap prasyaratnya (sistem pencatatannya), ketepatan sasaran dan transparansi dari pengelolaannya.

Vouchers biasanya digunakan oleh pemerintah atau donor-driven. Sasarannya didefinisikan secara jelas (untuk kelompok tertentu, pada wilayah geografis tertentu, dsb). Voucher diberikan kepada kelompok sasaran, tetapi pembayarannya dilakukan oleh pemerintah atau donor kepada provider-nya. Biasanya voucher dikombinasikan dengan pemberian uang/cash untuk mengganti biaya transport.

Hal terpenting yang perlu diingat adalah:

  1. Demand-side financing tidak akan berhasil jika kita tidak memiliki control terhadap kualitas (artinya: kita tidak bisa memastikan bahwa pelayanan yg tersedia bermutu), dan tidak memiliki control terhadap supply-chain (artinya: kita tidak bisa memastikan bahwa pelayanan, obat dan peralatan yg dibutuhkan tersedia pada saat pasien membutuhkan).
  2. Sampai sejauh ini bukti literature menunjukkan bahwa demand-side financing yang efektif meningkatkan demand adalah yg dilakukan di Negara-negara dimana telah tersedia pelayanan yg gratis (misalnya, karena sudah disediakan secara Cuma-Cuma oleh pemerintah atau sudah di-biayai melalui asuransi social). Belum tersedia bukti yg cukup dimana demand-side financing akan berhasil di Negara-negara dimana pelayanan yg tersedia masih mengenakan biaya untuk pasien. Artinya, kita perlu menggarisbawahi bahwa financial-barrier ada pada point dimana pelayanan tersedia, dan juga pada kemampuan pasien untuk pergi ke tempat pelayanan. CCT, misalnya, diberikan bukan supaya rumahtangga bisa membayar biaya (charges) untuk mendapatkan pelayanan, tetapi supaya mereka bisa membayar biaya (cost) yg dibutuhkan untuk pergi ke fasilitas kesehatan, atau sebagai insentif untuk pergi ke fasilitas pelayanan (tidak soal apakah fasilitas ini merupakan fasilitas swasta atau pemerintah).
  3. Demand-side financing juga tidak akan mengatasi masalah jika masyarakat tidak mengakses pelayanan kesehatan karena factor non-financial barriers.

Sesi berikutnya kembali berupa studi kasus. Kali ini, studi kasusnya adalah bagaimana vouchers diterapkan di Bangladesh.

Sesi selanjutnya bukan merupakan sesi tentang tools yg tersedia, tetapi lebih pada salah satu actor dalam sector swasta yaitu penyedia pelayanan informal dan bagaimana kita merespon hal ini.

Informal Providers (Dominic Montagu)

Di region Asia, para penyedia layanan informal adalah bagian besar dari sistem, walau pun mereka secara resmi tidak pernah terlihat (invisible) di dalam sistem. Biasanya bila suatu service delivery dijelaskan di dalam sistem, maka yg ditampilkan biasanya adalah berapa jumlah tenaga kesehatan di puskesmas, berapa puskesmas, berapa pustu, berapa polindes, dst. Tetapi dalam dunia nyata, masyarakat pergi bukan ke dokter di puskesmas atau bahkan ke puskesmas, melainkan pergi ke informal providers (mulai dari bidan praktek sampai penyembuh tradisional). Sehingga bila dilihat sebenarnya share terbesar adalah di sector swasta, tidak soal apakah mereka formal atau informal, terlatih atau tidak. Sehingga apabila kita memikirkan tentang bagaimana melibatkan sector swasta, kita tidak bisa (dan tidak boleh) mengabaikan mereka.

Informal providers biasanya tidak memiliki gelar tertentu (berdasarkan jalur pendidikan khusus), tidak ada standar kualitas yg disepakati, tidak berada di bawah aturan regulasi/sistem monitoring atau supervisi dan jarang sekali yg membentuk suatu asosiasi.

Contoh informal providers:

  • Penjual obat
  • Dukun bayi
  • Penyembuh tradisional

Sebuah systematic literature review (sekitar 109 literature) membahas intervensi apa yg cukup potensial untuk menghadapi informal providers (berdasarkan experiences di beberapa negara berkembang), yaitu:

  • Merubah situasi pasar (bukan melatih para informal providers ... karena ternyata ini bukan intervensi yg efektif) : misalnya mengaitkan insentif dengan perilaku tertentu, microfinancing, dll
  • Memasukkan mereka ke dalam sistem melalui proses regulasi: misalnya di-register sehingga bisa mulai di-data dan di-supervisi. Tetapi tentu saja kita harus mempertimbangkan biaya yg terlibat untuk melakukan supervise (misalnya: siapa yg melakukan, apa otoritas mereka, dsb). Jika tidak, maka yg terjadi adalah adanya sekelompok aparat yg berkeliling menangkap/memenjarakan para informal providers, atau mengancam utk menangkap/memenjarakan sehingga secara tidak langsung menciptakan peluang 'pemerasan' dan pungli.
  • Mengurangi fragmentasi di antara para informal providers itu sendiri dengan cara mendorong mereka untuk membentuk asosiasi, sehingga memudahkan interaksi antara pemerintah dengan mereka (misal: Dinkes akan sulit berkomunikasi/menyampaikan informasi kebijakan kepada 2,000+ toko obat, tetapi akan lebih mudah seandainya ada Asosiasi Penjual Obat)
  • Membuat mapping informal providers
  • Mengaitkan mereka ke dalam sistem rujukan, tetapi untuk melakukan ini kita harus mengatasi keberatan dari Dinkes dan dari organisasi profesi/bidan

Dengan selesainya sesi ini, selesai pula penyampaian materi course ini. Esok, di hari terakhir, hanya akan diisi dengan ringkasan harian (seperti biasa), disusul dengan ringkasan/review seluruh course, presentasi poster hasil kerja kelompok peserta, pemilihan poster terbaik dan penutupan.

 

More Articles ...