Ringkasan Diskusi Alokasi dan Sinergi Anggaran Kesehatan

 Kembali

Anggaran Kesehatan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, hal ini merupakan langkah besar bangsa Indonesia dalam hal investasi. Investasi yang dimaksud ibu Menkeu adalah berjalannya program pembangunan kesehatan sesuai yang dibutuhkan masyarakat Indonesia. Mekanisme anggaran melalui DAK Fisik, DAK Non Fisik dan mekanisme lain harus secara ketat diatur dalam regulasi dan pedoman untuk pelaksanaannya. Jadi penyerapan anggaran tidak hanya menunjukkan angka tetapi juga menunjukkan hasil dan dampak yang baik bagi pembangunan kesehatan.

Kasus-kasus yang sekarang banyak dihadapai menunjukkan bahwa perlunya perbaikan dimulai dengan Perencanaan Berbasis Bukti, berbasis data, pelaksanaan dari level pusat sampai level desa. Anggaran kesehatan yang naik di level Pemerintah Pusat hendaknya diikuti oleh kenaikan alokasi anggaran kesehatan di Pemerintah Daerah. Penggunaan anggaran yang "bijak" sesuai dengan kebutuhannya akan lebih menghasilkan dampak yang optimal. Sejalan dengan itu penguatan koordinasi dan integrasi program antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan dampak positif bagi investasi kesehatan di negara Indonesia.

Oleh: M Faozi Kurniawan

  Berikut arsip diskusi:

Likke Prawidya
Bagaimana pendapat Anda mengenai yang dipaparkan oleh bu Menkeu?
Isu lain apa yang menurut Anda penting?
Kontribusi apa yang dapat dilakukan oleh pelaku dan pemerhati kesehatan masyarakat di Indonesia?

Felix Mailoa
Dalam era desentralisasi bidang kesehatan, salah satu hal yang ditekankan oleh ibu menteri keuangan adalah komitmen untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan masyarakat karena merupakan suatu investasi namun menurut saya yang juga harus di perhatikan berkaitan dengan isu ini adalah menjamin anggaran kesehatan itu terserap dengan baik didaerah karena pengalaman selama ini, anggaran kesehatan didaerah sering tidak terserap dengan cukup baik. Sehingga, banyak program kesehatan didaerah yang dibuat hanya untuk menghabiskan anggaran dalam tahun berjalan. Jika hal ini tidak dimaksimalkan maka dikhawatirkan berapapun peningkatan angka/persentasi APBN terhadap sektor kesehatan tidak bisa sepenuhnya menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat khususnya didaerah.
Terima Kasih....

Ridwan
Betul Pak Felix, ijin menambahkan berkaitan dengan penyerapan anggaran di daerah, pengalaman selama ini banyak yang tidak terserap dengan baik karena berbagai alasan antara lain pemegang "kegiatan" didaerah tidak berani ambil resiko terkait pelaksanaan kegiatan yang kadangkala adanya pemahaman yang berbeda mengenai Juknis pelaksanaan kegiatan, seringkali anggaran yang berasal dari pusat (APBN) khususnya DAK Bidang Kesehatan berubah-ubah, maksudnya dalam tahun berjalan dimana DPA di Daerah sudah ditetapkan ternyata ada perubahan nominal penerimaan tiap daerah, adalagi penerapan JUKNIS yang dibuat oleh Pusat seringkali tidak tepat untuk dilaksanakan didaerah. Suatu waktu juga pernah disampaiakan oleh "Pusat" bahwa yang penting penyerapan anggaran di daerah harus sesuai target (terserap dengan baik) terkait dampak itu nomer sekian, sehingga memunculkan asumsi saya bahwa pelaksanaan pembangunan kesehatan hanya terfokus pada penyerapan anggaran saja mengenai hasil dan dampaknya akan mengikuti meskipun tidak optimal. Jadi, hemat saya Anggaran yang besar tetap berdampak pada pelayanan kesehatan didaerah, akan tetapi dalam proses perencanaannya akan lebih baik lagi kalau Daerah lebih dilibatkan dalam proses awal sehingga antara Pusat dan Daerah bisa Sinkron dalam pembangunan kesehatan (meskipun sudah ada sistem perencanaan yang baik melalui musrenbang dsb) dan terkait aspek-aspek hukum barangkali perlu lebih ditegaskan dalam Juknis yang ada dan perlu disampaikan juga kepada Kementerian/Lembaga terkait selaku pengawas/pemeriksa sehingga pelaksana didaerah lebih "nyaman" dalam pelaksanaannya dan pelaksanaan pembangunan kesehatan didaerah dapat terlaksana dengan baik serta tercapai dari segi output maupun outcome yang akhirnya berpengaruh pada penanganan masalah-masalah kesehatan di daerah bahkan secara nasional. Terima Kasih

Likke Putri
Betul pak Felix, ini senada dengan komentar bu Nanik di bawah, tidak hanya proporsi serapan yang belum optimal, tetapi juga bagaimana kualitas dari dana yang dipakai tersebut apakah sudah cukup bagus dan dapat mendongkrak kualitas pelayanan kesehatan?
Dana seringkali diserap hanya sekedar menyerap.
Apakah ada saran Pak bagaimana untuk ke depannya supaya serapannya itu tepat guna?
Terima kasih

Haryo Bismantoro
Penghitungan unit cost untuk tarif kapitasi yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik di kabupaten/kota penting untuk dilakukan untuk memastikan ketepatan alokasi dana untuk daerah.

Riesa
Salah satu hal yang menarik perhatian saya, namun juga sedikit menggelitik adalah pemberian IAKMI award kepada ibu menteri keuangan. Bahkan beliau sendiri mempertanyakan alasan pemberian tersebut, karena beliau merasa baru berkiprah 3 bulan dalam kancah kabinet saat ini. Juga sempat bertanya, apakah ini semacam down payment agar anggaran kesehatan selalu mendapatkan perhatian. sebenarnya ada setting apa di balik ini?
Terimakasih

Laksono Trisnantoro
Bu Riesa ...ini diplomasi tingkat tinggi dari IAKMI. Sangat menarik....gaya IAKMI membina hubungan dengan Menkeu.
Bu Menkeu sendiri merasa berhutang...Ini hasil yang sangat menarik ...Apakah tahun-tahun mendatang Bu Menkeu tetap pro-kesehatan masyarakat atau sebaliknya.
Salam

Riesa D
Kesehatan adalah salah kebutuhan mendasar masyarakat. Dan sektor keuangan menjadi salah satu kunci pokok keberlangsungan pembangunan kesehatan. Tidak bisa dipungkiri, tanpa ada ketersediaan sumber daya keuangan, pembangunan kesehatan bisa stagnan bahkan mandeg. Meski program kesehatan sebagus apapun tanpa dukungan pembiayaan yang memadai takkan dapat berjalan dengan optimal. Walaupun sumber pembiayaan kesehatan tidak hanya semata-mata berasal dari pemerintah, namun Menkeu merupakan salah satu aktor kunci dalam menjamin ketersediaan anggaran untuk terselenggaranya pembangunan kesehatan
Terimakasih

Nanik Sri Wahyuni
Saya menggaris bawahi pertanyaan Ibu Menkeu: "Setelah UHC ini dilakukan, apakah betul pelayanan kesehatan mencapai hasil yang baik?"
Pertanyaan tersebut sederhana namun maknanya mendalam.
Sebagai ahli kesehatan masyarakat, tentunya akan merasa tertantang untuk bisa berkontribusi lebih banyak dalam pembangunan kesehatan.
Terima kasih

Grace Sicilia
Poin penting yang disampaikan oleh Bu Mentri antara lain bahwa aspek kesehatan adalah aspek yang sangat strategis di semua Negara dengan permasalahan yang berbeda-beda. Keinginan untuk menciptakan UHC adalah baik menurut beliau namun persoalan yang muncul setelah tercapainya UHC adalah bagaimana menunjukkan hasil pelayanan yang baik bagi masyarakat. Karena dari hasil program evaluasi UHC yang beliau pimpin langsung di China digambarkan bahwa makin banyak jumlah anggaran yg dialokasikan pemerintah untuk kesehatan, masyarakatnya makin tidak puas. Dapat dimaknai bahwa permasalahan ternyata bukan hanya masalah "uang". Hal yang tidak kalah pentingnya selain komitmen besar dari sisi anggaran adalah komitmen yang sama besarnya harus dimunculkan dari sisi desain, perencanaan, pemikiran dan pelaksanaan serta organisasi sampai ke level desa. Sehingga dapat mewujudkan suatu sistem terintegrasi antara pelaksanaan preventif dan promotif menjadi satu kesatuan dengan kuratif dengan memenuhi aspek efisiensi, akuntabilitas dan efektifitas untuk mencapai masyarakat yang sehat dan produktif. Terima kasih.

Arda Dinata
Menyimak paparan ibu Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, dalam acara Kongres IAKMI di Makasar, ada beberapa hal yang menarik untuk diskusikan, seperti Pengalaman beliau selama bekerja di Word Bank (Bank Dunia), masalah kesehatan itu merupakan aspek strategis di semua negara. Keinginan untuk menciptakan Universal Health Coverage (UHC) itu baik, banyak negara menuju ke situ atau bahkan sudah mencapai UHC, seperti Negara Turki, Cina. Namun persoalan yang muncul setelah UHC, apakah pelayanannya menjadi baik dan mencapai hasil yang baik?

Hasil evaluasi UHC di Cina, justru menggambarkan kondisi pemerintah semakin banyak mengalokasikan anggaran kesehatan, ternyata masyarakatnya makin tidak puas. Jadi, persoalannya bukan masalah uang dan saya senang menggunakan kasus-kasus ini untuk menunjukkan, meskipun kita bisa memberikan komitmen besar dari sisi anggaran. Namun, tanpa adanya komitmen yang sama dari sisi desain, perencanaan, pemikiran, dan pelaksanaan, serta organisasi, sampai ke level desa.

Arti lainnya, kita tidak hanya membangun atau menambah jumlah sarana kesehatan (Puskesmas, RS), tetapi juga berapa jumlah sumber daya tenaga kesehatannya. Bagaimana kita bisa melakukan upaya secara preventif dan promotif itu dapat menjadi satu kesatuan dengan upaya kuratif dalam suatu sistem integrasi, sehingga ada aspek efesiensi, akuntabilitas, dan efektivitas dalam mencapai masyarakat yang sehat dan produktif.

Untuk itu IAKMI sebagai wadah para ahli masyarakat Indonesia dan institusi perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga kesehatan masyarakat Indonesia ini, hendaknya dapat memproduksi dan memperbaiki kurikulum untuk bisa mengantisipasi persoalan pengelolaan kesehatan Indonesia. Di sini, kurikulum ahli kesehatan masyarakat itu betul-betul digali dari permasalahan yang urgen di masyarakat sebagai bahan proses belajar mengajarnya. Sehingga diharapkan nantinya para lulusan ahli kesehatan masyarakat ini benar-benar sudah terbiasa dalam menghatasi masalah kesehatan yang muncul di masyarakat. Selain itu, dengan pola pendidikan yang berkarakter sebagai ahli kesehatan masyarakat. Jangan sampai, perilaku dan praktek kesehariannya bertolak belakang dengan budaya hidup sehat.

Jadi, pada konteks ini, dimensi pembangunan yang paling relevan di sini adalah pembangunan manusia Indonesia yang berkarakter kesehatan masyarakat. Tenaga kesehatan adalah jadi salaah satunya. Artinya, sebelum kita mendidik kesehatan pada masyarakat, maka hendaknya para pelaku bidang kesehatan memberikan contoh dan teladan yang mendukung pola hidup sehat. Bukan justru malah sebaliknya. Di sinilah, keberadaan aspek pendidikan, kesehatan, perumahan, dan karakter serta mental manusia itu menjadi juga sama pentingnya.

Akhirnya, berdasarkan materi paparan dari ibu Menteri Keuangan RI tersebut, menurut saya ada kata kunci yang harus kita kawal dan dukung terkait visi dan komitmen pemerintah daerah, baik itu Gubernur, Bupati, Wali Kota dan Pemerintahan Desa terhadap anggaran pembangunan daerah untuk bidang kesehatan dari alokasi anggaran APBD di daerahnya masing-masing. Inilah diantara tugas para ahli kesehatan masyarakat yang tergabung dalam IAKMI untuk melakukan advokasi dan mengawal gerakan kesehatan masyarakat di tiap daerah di Indonesia. (www.ArdaDinata.com).

Faozi
Ijin komentar..
terkait Peran Pemda di Era JKN, beberapa penelitian memang belum menunjukkan hasil yg positif.
Untuk anggaran kesehatan program kesehatan di dinas kesehatan masih terbatas. UU 36/2009 yang mengamantkan10% untuk kesehatan diluar gaji masih belum tercapai.
Apakah perlu teguran keras dari Kemendagri terkait alokasi anggaran kesehatan 10%, apabila yaa..bagaimana dengan Pemda yang memang tidak memmpunya cukup anggaran untuk memenuhi anggaran 10% tersebut.

Laksono Trisnantoro
Setelah mendengar pidato bu Menkeu, apakah benar ada semacam penegasan dari beliau: Anggaran kesehatan dari APBN tidak akan bertambah banyak di masa mendatang. Para pengguna dana APBN diharapkan lebih efisien.
Disamping itu, perlu ada peningkatan anggaran dari luar APBN, termasuk APBD.
Apakah benar pengamatan saya?

Felix Mailoa
Saya sependapat dengan pendapat Prof tentang hal ini karena peningkatan anggaran belum tentu dapat mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat secara lebih baik. Evaluasi menyeluruh terhadap keberhasilan program dari pusat sampai didaerah sangat penting untuk memetakan program-program yang selama ini berjalan namun tidak mencapai target yang ditetapkan sehingga dapat mengurangi beban anggaran dan mengalihkannya pada program-program yang lebih membutuhkan anggaran besar. Selain melakukan efisiensi di tingkat birokrasi, pemerintah juga harus melakukan efisiensi belanja, upaya pengelolaan anggaran di daerah harus transparan, akuntabel, ekonomis, efisiensi dan efektif, rasional dan terukur. Selain itu menemukan formulasi yang tepat dalam penentuan anggaran khususnya agar terhindar dari politik anggaran baik di legislatif maupun eksekutif dan yang terakhir adalah mengurangi belanja pegawai yang tidak rasional dan mengalokasikan anggaran yang tepat sasaran.
Terima Kasih

 

 

Oral Presentation: Health Reform – Governance

Oral Presentation

Health Reform – Governance

Reporter: Putu Eka Andayani

 

  Pengantar

Governance pada sistem kesehatan penting sedangkan pengetahuan untuk memahami berbagai cara governance dalam mempengaruhi outcome dan performance, serta keterbatasan mekanisme governance masih terbatas. Sesi yang dipandu oleh AnujKapilashrami, staff associatedi University of Edinburgh, UK ini memaparkan hasil penenilitian terkait governance yang dilakukan dengan berbagai pendekatan.

19nov 

Health in all policies (HiAP) approach in addressing the post-2015 sustainable development goals – prospects for Kenya

Ini merupakan hasil penelitian sementara yang disajikan oleh Joy Mauti, seorang mahasiswi program doktor di University of Heidelberg, Jerman. Menurutnya, HiAP adalah pendekatan komprehensif untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan dan mencapai target SDGs di Kenya, pasca 2015. Tujuan penelitiannya adalah untuk meng-assess pengetahuan dan persepsi stakeholders yang dilakukan dengan menggabungkan antara metode kualitatif dan kuantitatif dan menggunakan Exploratory Sequential Design. Dari riset tersebut Joy menemukan bahwa sebagian stakeholders di Kenya telah menyadari adanya HiAP dan berpendapat bahwa ini merupakan hal yang baik. Beberapa stakeholders bahkan sudah ditetapkan sebagai HiAP units. Semua actor non-pemerintah perlu dilibatkan dalam HiAP dan adaptasi SDGs,

Policy, implementation or both? Implementation research to strengthen primary health care under Indonesia's National Insurance Reform

Hasil penelitian ini disampaikan oleh Laksono Trisnantoro, guru besar dari Gadjah Mada University yang bekerjasama dengan USAID dalam melakukan penelitian ini. Tujuan penelitiannya antara lain mengklarifikasi regulasi yang dihasilkan oleh pemeritah pusat dan daerah serta memberikan rekomendasi kebijakan untuk implementasi JKN yang lebih baik. Menurutnya, Indonesia memiliki latarbelakang seting sejarah dan geografis yang sangat kompleks, sehingga melahirkan program JKN yang kompleks dalam implementasinya. Dari penelitian ini dihasilkan peta mengenai gap, dimana ada dua jenis gap dalam implementasi JKN. Gap pertama yaitu antara praktek ideal dengan regulasi yang ada. Gap kedua yaitu antara regulasi dengan implementasi kebijakan di lapangan. Ada tiga titik gap pada implementasi JKN. Pertama, antara kapitasi dengan mekanisme pembayaran, gap terdapat antara kondisi ideal dengan regulasinya. Kedua pada peran pemerintah dan provider, ada gap antara kebijakan dan implementasinya. Ketiga, pada kebijakan sentralisasi-desentralisasi ada gap antara kebijakan dengan implementasi dimana BPJS sifatnya tersentralisasi sedangkan kementerian kesehatan mendesentralisasi urusan kesehatan pada dinas-dinas kesehatan. Akibatnya, dinas kesehatan kesulitan mengakses data pada BPJS regional/cabang, padhal dibutuhkan untuk perencanaan daerah.

Power and networks of influence in health sector governance: national level decision making for maternal health in Ghana

Paper ini merupakan hasil penelitian Augustina Koduah dari Kementerian Kesehatan Ghana. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami proses pengambilan keputusan dan lebih memahami tentang berbagai cara interaksi dalam governance. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada dua kategori aktor dalam governance yaitu yang mengambil keputusan (presiden dan meteri) dan yang mempengaruhi serta bertanggungjawab dalam keputusan final (birokrat, development partners, pemberi pelayanan kesehatan, masyarakat). Struktur interaksi yang terjadi ada yang sifatnya publik dan ada yang privat, mereka saling mengontrol melalui situasi lingkungan dan instrumen negosiasi.

Political will for health system devolution in Kenya: insights from three counties

Penelitian ini disampaikan oleh 
Aaron Mulaki dari RTI International, Kenya. Menurutnya, Kenya harus meningkatkan investasi untuk menghasilkan lebih banyak hasil penelitian/bukti yang dapat digunakan untuk pembuatan keputusan (Evidence based policy making). Selain itu, Kenya juga perlu lebih banyak dialog, meningkatkan kapasitas actor local dan menguatkan peran CSO.

'Healthy Bihar, Prosperous Bihar': how a health campaign achieved both health and policy impacts

Penelitian ini disampaikan oleh Victor Ghoshe, seorang State RMNCH+A Unit, Bihar di India. Diawal presentasinya Victor menggambarkan Bihar sebagai sebuah desa kecil dengan infrastruktur serba terbatas dan kesadaran masyarakat untuk ke fasilitas kesehatan masih rendah. Pemerintah harus meningkatkan image fasilitas kesehatan dengan kesadaran branding. Yang dilakukan adalah mengidentifikasi brand untuk kampanye, dan memutuskan bahwa brand yang digunakan adalah: "Healthy Bihar, Prosperous Bihar". Kedua, biarkan pemerintah yang "merasa memiliki" ide tersebut dan akhirnya mengembangkan ekuitas pelayanan kesehatan. Kegiatan ini dirasa berhasil karena kemudian awareness masyarakat terhadap fasilitas kesehatan meningkat dan muncul ide untuk membuat branding bagi program-program kesehatan yang lain, misalnya branding untuk penghargaan leadership berbasis performance, branding untuk safe motherhood program, Kesehatan desa, nutrisi, sanitasi dan sebagainya. Bahkan saat kampanye pemilihan kepala daerah, daerah salahsatu kandidat menggunakan "Prosperous Bihar" sebagai moto kampanyenya. Branding yang inovatif dapat membantu petugas kesehatan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terkait program kesehatan dan menginspirasi tenaga kesehatan untuk membuat branding bagi program-program lainnya.

Power, policy and specialty development – the case of emergency medicine specialization in India

Penelitian ini dilakukan oleh Veena Sriram, peneliti dan mahasiswa program doktor dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, United States. India saat ini mengalami masalah dengan jumlah dan jenis dokter spesialis. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah harus focus pada kualitas atau kuantitas dokter? Veena khususnya menyoroti mengenai spesialis emergency yang sejarah pengemangannya telah dimulai sejak tahun Tahun 1994 telah menjadi departemen formal di pendidikan dokter di India. Sumber kekuasaan adalah: kemampuan teknis, kekuaasaan birokrasi (jabatan, misalnya pada Medical Council India, Elit pub dan sebagainya), keuangan dan kekuatan network (misalnya medical college). Dengan kebijakan yang saat ini berkembang, masyarakat miskin menjadi lebih sulit untuk masuk ke Fakultas Kedokteran. Rekomendasinya adalah kedepannya penggunaan kekuasaan untuk membuat kebijakan harus lebih sistematif, transparan dan komunikatif. 


Reportase Terkait

{jcomments on}

Future Learning and Evaluation Approaches for Health System Development

Future Learning and Evaluation Approaches for
Health System Development

Reporter: Shita Dewi

hsr16

  Pengantar

Reportase kali ini akan mencoba melaporkan dua sesi terkait tema berbagai metode yang digunakan dalam melakukan penelitian sistem kesehatan. Dua sesi ini merupakan sesi presentasi oral para peneliti yang telah melakukan penelitiannya di berbagai negara, dan terkadang peneliti menggunakan bahasa mereka sendiri (Spanyol, atau Perancis) dalam melakukan presentasi.

Judul Sesi: Engaging with complexity in health policy and system research: experience from applying complex-sensitive approaches

(Sara van Belle, Isabel Goicoleo, Anna-Karin Hurtig, Migueal san Sebastian, Tanya Seshadri)

Premis dasar dari sesi ini adalah bahwa penelitian seringkali dilakukan dalam situasi yang kompleks, sehingga metodologi yang biasa (misalnya cross-sectional) tidak akan mampu menangkap kompleksitas tersebut. Mengapa? Karena dalam dunia nyata, causal pathway bersifat inter-connected, dan multiple. Causation bersifat kompleks dan seringkali tidak linear. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan case-based configurational analysis.

Metodologi pertama yang dipaparkan adalah Qualitative Comparative Analysis (QCA), sebuah metodologi yang cukup kompleks dimana sebuah program theory dikembangkan, kemudian dievaluasi dalam beberapa tahapan, dimana setiap tahapan merupakan konteks yang berbeda dan memiliki berbagai kombinasi kondisi/prasyarat yang berbeda. Dua aspek yang dilihat biasanya adalah aspek kondisi/prasyarat intervensi, dan aspek kondisi/prasyarat mekanisme. Komparasi dilakukan dengan memperhatikan kombinasi dari berbagai detailed-within-case analysis, sampai akhirnya ditemukan semacam 'modeling' dari kombinasi-kombinasi yang menghasilkan outcome yang sama (dan yang diharapkan) dan kemudian mengidentifikasi faktor yang selalu muncul dalam kombinasi yang berbeda-beda tersebut. Namun ditekankan bahwa lesson learned dari pendekatan ini dalam dunia nyata bukan faktor apa yang muncul, tetapi lebih pada bagaimana caranya hingga kita mencapai kondisi/prasyarat yang dijabarkan dalam faktor tersebut.

Bila pembaca tertarik ingin menggunakan metodologi ini, silakan membaca lebih lanjut pada link berikut

klik disini

Metodologi kedua yang dipaparkan adalah Participatory Action Research (PAR). Pembaca yang berminat dapat mempelajari secara ringkas tentang PAR pada link berikut

klik disini

Berangkat dari premis yang sama, bahwa sistem yang kompleks mengandung makna 'whole of parts', dan bahwa sistem ternyata bersikap conservative namun selalu menghasilkan unpredictable result. Akibatnya, untuk melakukan intervensi, good intentions saja tidak cukup, dan harus mengakui bahwa ada limitation dalam common sense sehingga akhirnya hal terbaik yang bisa dilakukan adalah trying to make (some) sense dari kompleksitas tersebut. Namun, ini mengandung implikasi bahwa analytical reflection harus selalu diikuti oleh synthesis.

Pengalaman dalam melakukan PAR menggarisbawahi fakta adalah bahwa sistem yang kompleks seharusnya selalu ada trickle-down effect dan kapitalisasi dari lesson learned. Namun, agar dapat bermanfaat, kedua hal ini harus memiliki cukup waktu, dana dan sarana. Kapitalisasi lesson learned khususnya penting karena lesson learned seharusnya menjelaskan bagaimana intervensi dilakukan, apa yang berhasil dan mengapa, serta apa yang tidak berhasil dan mengapa. Hanya dengan kapitalisasi lesson learned ini maka akan terjadi pengembangan kapasitas dan expertise local, yang bila ditindaklanjuti oleh policy dialogue dapat menghasilkan dampak dalam bentuk kebijakan.

Namun, dalam dunia yang mengagungkan "evidence-base", kita perlu menyadari seberapa banyak 'evidence' yang harus dikumpulkan untuk dapat disebut sebagai 'evidence'.

Judul Sesi: Application and challenges to the use of Mixed Methods in health system research

(Valery Ridde, Anne-Marie Trucotte-Tremblay, Nicolas Ortiz Ruis)

Dalam sesi ini, beberapa peneliti yang telah melakukan penelitian mengunakan mixed methods menceritakan apa tantangan dalam melakukan mixed methods. Hal ini menarik karena banyak penelitian 'mengaku' (atau mengira) telah melakukan mixed method, tetapi mungkin sebenarnya belum tepat. Pembaca dapat membaca secara ringkas mengenai mixed method pada link:

http://www.statisticssolutions.com/mixed-methods-approach/

Dua mixed methods yang dibahas khususnya adalah convergent mixed methods dan sequential mixed methods.
Tantangan yang disoroti dalam melakukan mixed methods, antara lain adalah:

  1. Berupaya menjelaskan dan menjustifikasi penggunaan dua pendekatan yang berbeda dalam satu penelitian, karena dua metode ini memiliki world views yang sangat berbeda, dan memiliki rigour yang berbeda pula
  2. Ada ketidakpastian, dalam arti pendekatan kualitatif mungkin saja dapat mengarah pada hipotesis yang tidak bisa dijelaskan oleh model kuantitatif karena datanya tidak tersedia. Atau, sebaliknya, hipotesis harus dicocokan dengan data yang ada.
  3. Kemungkinan adanya conflicting result yang diperoleh dari pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif
  4. Memerlukan kelompok dengan dua keahlian yang berbeda namun harus menyepakati model konseptual yang sama
  5. Kualitas dari data sangat menentukan

Lesson learned dalam melakukan mixed methods adalah:

  1. Jangan ragu untuk berkonsultasi dengan ahlinya, karena mixed method membutuhkan keahlian tersendiri
  2. Sebaiknya, peneliti memiliki pengalaman dalam melakukan penelitian dengan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif terlebih dahulu sebelum mencoba menggunakan mixed methods.


Reportase Terkait

{jcomments on}

Translating Evidence Into Action – Thematic Working Group Meeting

Translating Evidence Into Action
– Thematic Working Group Meeting

Reporter: Putu Eka Andayani

 

  Pengantar

 MG 0165Thematic Working Groups (TWGs) merupakan komponen inti dari Health System Global (HSG) yang merupakan organisasi yang bersifat member-driven. Grup-grup ini terdiri dari para peneliti dengan latar belakang keahlian dan spesifikasi yang berbeda para pengambil keputusan dan pelaku kebijakan. Grup-grup ini membuat platform untuk interaksi antar-anggota yang memungkinkan terjadinya pertukaran pengalaman yang terkait dengan isu-isu seputar penelitian sistem kesehatan. (sumber: www.healthsystemglobal.org)

Sesi ini berbeda dengan sesi-sesi seminar lainnya, karena bertujuan untuk mempertemukan anggota working group dan peserta lain yang berminat dengan isu yang sedang dibahas. Setidaknya ada 10 TWGs di HSG yaitu: 1) Emerging voices for Global Health, 2) Ethics of Health System Research, 3) Health system in fragile and conflict affected states, 4) Medicine in health systems, 5) Social sciences approach for research and engagement in health policy and system, 6) Supporting and strengthening the role of community health workers in health system development, 7) Teaching and learning health policy and system research, 8) The private sector in health, 9) Translating evidence into action, dan 10) Quality in universal health and health care.

TWG Translating Evidence into Action Meeting

TWG ini menggunakan pertukaran pengetahuan mengenai best practices, lesson learned dan guideline praktis serta berbagai instrumen untuk menerjemahkan bukti-bukti dari hasil penelitian sistem kesehatan menjadi aksi nyata. Tujuan dari TWG ini adalah:

  1. memampukan para peneliti untuk mendukung penggunaan penelitian sistem kesehatan oleh pembuat kebijakan dan stakeholders lainnya
  2. meningkatkan kesadaran diantara para pembuat kebijakan, pelaksana program, penyedia layanan kesehatan, warga masyarakat dan media mengenai pentingnya menghargai dan menggunakan bukti
  3. menciptakan peluang bagi seluruh anggota HSG untuk membagi best practices dalam mentranslasikan bukti/hasil penelitian
  4. berkolaborasi dengan TWG lain di HSG untuk mempromosikan evidence translation

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai TWG dapat dilihat pada link berikut:
http://bit.ly/HSG-TEiA-TWG dan untuk bergabung menjadi anggota TWG ini dapat mengirim email ke: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 

  Diskusi/Take home messages:

  1. membentuk TWG merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efektivitas pertemuan para penelitian dan stakeholder lain, karena TWG sudah dirancang sesuai dengan tema spesifik. Para stakeholders tinggal memilih untuk bergabung atau mengikuti diskusi pada TWG tertentu sesuai dengan minat maupun tuntutan perannya di masyarakat.
  2. Dengan menjadi anggota TWG aktif, best practices dan pengalaman dapat di sharing ke seluruh anggota yang berasal dari berbagai latar belakang institusi dan negara. Pembelajaran lebih optimal dapat terjadi dari studi komparasi antar Negara dan antar lembaga Think Tank.


Reportase Terkait

{jcomments on}

A Massive Open Online Course (MOOC) on Implementation Research

A Massive Open Online Course (MOOC)
on Implementation Research

Reporter: Yodi Mahendradhata

 

hsr-ym-1

Dalam sesi satelit ini, WHO/TDR memperkenalkan media pembelajaran baru untuk riset implementasi. Media tersebut berupa Massive Open Online Course (MOOC) yang menggunakan platform EdX. Tujuan dari MOOC ini untuk introduksi dasar-dasar riset implementasi. Sebagai kursus dasar maka tidak ada persyaratan untuk dapat mengikuti. Partisipasi kursus ini gratis namun kedepan ada kemungkinan akan ditarik biaya bila menginginkan sertifikat yang akan diberikan melalui institusi akademis yang bekerjasama dengan TDR. Kursus ini terdiri atas lima modul dan bisa diselesaikan dalam waktu yang fleksibel, menyesuaikan dengan kesibukan peserta. Dalam setiap modul selain berisi materi juga terdapat kuis untuk menilai kemajuan pembelajaran peserta. Kursus ini merupakan jenjang paling dasar dalam portofolio kursus-kursus riset implementasi yang dikembangkan oleh TDR. Setelah menyelesaikan kursus ini maka peserta dapat mengambil pembelajaran IR jenjang berikutnya: IR short course (3 hari); IR Tool kit workshop (5 hari). Menurut rencana, MOOC ini secara resmi akan diluncurkan pada triwulan kedua 2017.


Reportase Terkait

{jcomments on}

Changing minds and changing budgets: funding strategies for Health Policy and Systems Research

Changing minds and changing budgets: funding strategies for Health Policy and Systems Research

Reporter: Yodi Mahendradhata

 

hsr-ym-2

Sesi ini berupa diskusi panel dengan beberapa perwakilan badan penyandang dana untukpenelitian-penelitian dalam ranah kebijakan dan sistim kesehatan, antara lain IDRC, DFID, MRC, WOTRO, AHPSR. Panel bertujuan untuk memberikan gambaran bagi audiens tentang konteks dan tujuan dana penelitian masing-masing badan, terutama kaitannya dengan riset kebijakan dan sistem kesehatan. Secara khusus, sesi ini mengeksplorasi konteks pendanaan riset kesehatan di tingkat nasional dan global, terutama pendanaan yang tersedia bagi riset kebijakan dan sistem kesehatan serta untuk memahami tren dalam pendanaan riset kesehatan. Dalam panel dikemukakan bahwa tren utama saat ini terkait dengan SDG yang banyak menekankan pendekatan multi sektor dan keterkait antara konteks lokal dan global; meningkatnya perhatian terhadap gender dalam perspektif ecosystem; penekanan pada pendekatan kemitraan dengan berbagai aktor; serta perkembangan isu konflik dan kekerasan. SDGs juga mendorong pendekatan sistem. Terlepas dari perkembangan-perkembangan yang seharusnya mendorong riset kebijakan dan sistem kesehatan, dana untuk riset bidang ini relatif masih terbatas. Sehingga diperlukan fokus pada isu-isu yang paling kritis dan pendekatan-pendekatan riset yang paling inovatif.


Reportase Terkait

{jcomments on}

Scaling-up: A Neglected Focus of Implementation Research?

Scaling-up: A Neglected Focus of Implementation Research?

Reporter: Yodi Mahendradhata

 

hsr-ym-3

Sesi ini mengangkat tiga kata kunci: scaling up; implementasi; dan hubungan antara riset dan kebijakan. Prof. Anne Mills selaku moderator menggaris bawahi bahwa dalam membahas isu implementasi ada dua mazhab yang dominan. Mazhab yang muncul lebih awal adalah evaluasi implementasi kebijakan. Dalam mazhab ini, evaluasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan diadopsi. Contoh teori dalam mazhab ini adalah "street level bureaucrats". Mazhab yang baru berkembang belum lama ini adalah implementation science yang lebih menekankan bagaimana meningkatkan efektifitas implementasi sebuah intervensi dalam konteks tertentu.

Pertanyaan-pertanyaan penting yang muncul dalam sesi ini adalah: (1) bagaimana riset dirancang untuk mengawal upaya scaling up; (2) bagaimana memahami konteks untuk kepentingan scaling up; dan (3) upaya-upaya apa yang diperlukan untuk mendukung scaling up. Beberapa catatan penting yang muncul adalah: (1) konteks perlu diteliti secara lebih detail, tidak sekedar diperlakukan sebagai variable penggangu; (2) peneliti berperan penting dalam memahami dan melibatkan para pelaksana program, untuk kepentingan scaling up; (3) piloting/ujicoba seringkali lebih dirancang untuk demonstrasi keberhasilan (memerlukan kapasitasi yang tinggi), tidak untuk scaling up.


Reportase Terkait

{jcomments on}

Blurring the lines: ethical considerations when research is embedded in policy and practice

Blurring the lines: ethical considerations when research is embedded in policy and practice

Reporter: Yodi Mahendradhata

 

Panduan etika penelitian selama ini lebih banyak terfokus pada penelitian-penelitian kesehatan klasik (biomedis, epidemiologis), belum terlalu mencermati aplikasinya dalam konteks riset implementasi atau riset-riset sistem kesehatan lainnya. Meskipun prinsip-prinsip etika secara umum berlaku juga untuk riset sistem kesehatan, namun bagaimana prinsip-prinsip tersebut ditafsirkan dan diaplikasikan dapat sangat bervariasi dan diperdebatkan. Sesi ini berupa panel diskusi yang menghadirkan peneliti, pakar etika, anggota komite etika penelitian dan penyandang dana penelitian.
Isu mendasar dalam hal ini adalah bahwa dalam riset implementasi batasan antara riset dan program menjadi kabur sehingga sulit untuk dipisahkan. Meskipun demikian setidaknya perlu diupayakan untuk mengidentifikasi komponen yang jelas-jelas penelitian dan mengkaji kemungkinan risiko yang bisa ditimbulkan.

Selain itu dalam riset implementasi fokus kajian adalah sistem, bukan individu. Konsekuensinya perubahan dalam satu bagian sistim akan berdampak pada bagian lain. Hal ini membuat  resiko lebih sulit untuk dikaji. Permasalahan lain adalah riset implementasi dapat berujung pada perubahan kebijakan yang berdampak pada populasi, dengan demikian perlu dikaji resiko-resiko yang mungkin timbul akibat perubahan kebijakan tersebut. Berbagai tantangan tersebut membuat komite etik seringkali kurang siap apabila diminta untuk mengkaji proposal riset implementasi. Diharapkan kedepan dapat dikembangkan kerangka konsep etika bagi riset implementasi yang dapat dijadikan acuan bagi komite etik. Saat ini WHO/TDR tengah mengembangkan program pelatihan etika bagi riset implementasi, yang diharapkan dapat membangun kapasitas komite etik dalam mengkaji proposal riset implementasi. Program pelatihan tersebut rencana akan diluncurkan awal tahun 2017.

Reportase Terkait