Reportase Acara Sampingan

Reportase Acara Sampingan

Reporter: Shita Dewi

 

hsr-sd-1 

Reportase kali ini menyoroti berbagai hal sampingan yang berlangsung selama konferensi. Selain berbagai acara pre-konferensi selama dua hari pertama, terdapat beberapa acara sampingan selama konferensi berlangsung.

Acara sampingan pertama adalah pameran poster. Selain terdapat pameran ratusan poster peserta seperti konferensi-konferensi lainnya, konferensi kali ini juga menyajikan sekitar 500 E-poster yang ditayangkan di lima layar yang berbeda. Peserta yang posternya diterima, mendapat kesempatan untuk memberi presentasi isi posternya kepada pengunjung sesuai jadwal yang ditetapkan. Mengingat ada ratusan poster yang masuk, maka setiap peserta mendapat jadwal khusus (hari dan jam) kapan mereka diharapkan stand by untuk mempresentasikan posternya kepada pengunjung yang berminat. E-poster juga bisa dilihat melalui website. Poster juga dikelompokkan berdasarkan tema sejenis, dan kemudian dikelompokkan lagi berdasarkan apakah poster tersebut terkait sub-tema Cutting-edge research atau terkait sub-tema Innovative practice, atau terkait Learning communities and knowledge translation atau terkait sub-tema Novel strategies for developing capacity. Poster ditempatkan bersama-sama dengan kelompok tema dan sub-tema sehingga peserta mudah menemukan poster yang diminati. Tema yang tersedia adalah:

  • Engaging power and politics in promoting health and public value
  • Enhancing health system resilience
  • Equity, rights, gender and ethics
  • Future learning and evaluation approaches for health system development
  • New partnerships and collaborations for health system research and development
  • Implementing improvement and innovation in health services and systems

hsr-sd-2

Acara sampingan berikutnya adalah acara promosi berbagai institusi penelitian, universitas, maupun NGO yang tersedia melalui booth di sekitar ruangan pameran poster dan ruang makan. Masing-masing booth menawarkan berbagai media promosi misalnya leaflet, buku, USB stick, dan merchandise (pulpen, tas, dan sebagainya). Dengan menghampiri staf yang berada di booth, kita akan mendapat informasi tentang berbagai program penelitian, working grup, ataupun pelatihan dan pendidikan formal yang ditawarkan institusi yang bersangkutan. Ini merupakan salah satu cara membangun networking yang cukup efektif, karena banyak kerjasama tercipta dan terjalin melalui komunikasi langsung dengan staf institusi yang bersangkutan. Beberapa institusi ternama yang memiliki booth pada konferensi kali ini, misalnya Health System Global (HSG), Alliance for Health Policy and Systems Research, Pan American Health Organization (PAHO), IDRC/CRDI, Abt Associates, Simon Fraser University, London School of Hygiene and Tropical Medicine, BioMed Central, dan lain-lain.

Acara sampingan lain adalah kegiatan media dan komunikasi. Misalnya, terdapat Global Health TV, dimana reporter dari penyelenggara melakukan wawancara dengan para narasumber konferensi, peserta, dan pihak-pihak lain. Acara Global TV disiarkan selama acara berlangsung melalui TV yang ditempatkan di lobi gedung konferensi dan di beberapa hotel tempat para peserta menginap. Peserta juga dapat merekam video mengenai kesan-kesan mereka selama mengikuti acara (rekaman dilakukan di dalam booth khusus). Selain dalam bentuk video, kesan-kesan juga dapat ditulis di flipchart yang tersebar di sekitar ruang konferensi.

Terakhir, terdapat sebuah ruangan khusus yang didedikasikan untuk acara multimedia. Sepanjang acara konferensi terdapat beberapa sesi multimedia dimana peserta diperkenalkan ke beberapa film-film pendek (documentary) yang menyoroti berbagai aspek dari pelayanan kesehatan di suatu negara. Misalnya, terdapat film dokumentasi mengenai bagaimana tantangan yang dihadapi masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan di Karnataka, India. Ada pula film dokumentasi tentang bagaimana sistem kesehatan di Kenya berjuang mengatasi Ebola. Selain sesi-sesi ini, terdapat pula film dokumentasi dan photo essay yang diputar terus-menerus sepanjang hari di ruangan khusus. Peserta yang mungkin merasa perlu untuk rileks sejenak setelah mengikuti sesi-sesi yang berat, dapat memilih untuk duduk di salah satu sofa yang tersedia dan menonton film atau photo essay yang juga menyoroti berbagai aspek dari layanan kesehatan di berbagai negara. Photo essay ini pun menarik karena setiap fotonya 'berbicara' dan meninggalkan kesan yang kuat.

  Take home message

Seringkali kita terpaku pada cara-cara tradisional untuk melakukan diseminasi hasil penelitian kita, misalnya menerbitkan buku, policy brief, mempublikasikan artikel di dalam jurnal, membuat poster dan sebagainya. Namun, ada cara lain yang lebih kreatif untuk melakukan diseminasi, yaitu melalui multi media. Apabila kita memiliki sumber daya yang cukup, membuat sebuah film dokumentasi mungkin adalah cara yang cukup efektif namun tentu saja pembuatannya membutuhkan ketrampilan media yang baik. Photo essay adalah cara lain yang cukup menarik, namun tentu saja hal ini juga membutuhkan ketrampilan jurnalisme fotografi yang baik.

Reportase Terkait

{jcomments on}

Engaging power and politics in promoting health and public value

Engaging power and politics in promoting health
and public value

Reporter: Shita Dewi

 

  Pengantar

Sesi ini merupakan sesi panel dimana para pembicara menjelaskan beberapa pendekatan dan perspektif yang mereka gunakan dalam penelitian yang mereka lakukan terkait 'power' dalam sistem kesehatan. Sesi ini sangat dipengaruhi oleh konsep-konsep ilmu sosial dan politik.

hsr-sd-3

Judul: Analyzing power and politics in health policy and systems research: theories, methods and issues

(Radhika Gore, Arina Mishra, Katerini Storeng, Robert Marten, Kelley Lee)

Pada sesi ini para peneliti menyoroti aspek 'power' dalam sistem kesehatan pada berbagai level: makro, meso dan mikro. Pada level makro misalnya dibahas 'power' dari pemerintah, pada level 'meso' misalnya dibahas 'power' yang dimiliki industri, sementara pada level 'mikro' misalnya dibahas 'power' dari para penyembuh tradisional.
Pada level makro, 'power' dapat dilihat dari perspektif compulsory, institusional, struktural ataupun produktif (Barnett dan Duvall) yang merupakan kerangka teori yang umum digunakan dalam ilmu hubungan internasional. Dalam kasus penetapan program prioritas menurut Sustainable Development Goals (SDGs) misalnya, dibahas bagaimana proses penetapannya berlangsung sangat inklusif karena melibatkan panel, task team, konsultasi ke negara-negara, negosiasi antar pemerintah dan seterusnya. Dalam presentasinya, pembicara mengambil contoh kasus Indonesia dan Jepang. Indonesia, misalnya, dianggap menarik karena 'power' pada tatanan struktural, institusional dan produktif sangat terasa didorong oleh keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (saat itu atau 2009-2014) untuk memastikan bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mencapai MDGs direfleksikan dalam program kesehatan global. Sementara Jepang juga dianggap menarik karena sangat terlibat dalam penentuan arah program kesehatan global melalui pendanaan yang kuat, arah strategik dan perspektif khas Jepang dalam memandang 'kesehatan' yang ditekankan dalam berbagai program kesehatan global.

Pada level meso, pembicara menyoroti 'power' yang dimiliki oleh industry rokok dan bagaimana mereka dapat menantang dan, dalam beberapa kasus, mengalahkan otonomi pemerintah dalam regulasi kesehatan. Kasus-kasus yang diangkat misalnya kasus Philip Morris vs Australia (terkait aturan pemerintah Australia tentang packaging rokok yang polos, tanpa memunculkan nama produsennya), kasus Philip Morris vs Uruguay (terkait aturan pelarangan iklan), dan beberapa kasus lain dimana perusahaan rokok menggugat pemerintah terkait aturan pajak khusus untuk impor rokok. Gugat-menggugat juga dapat dilakukan oleh produsen rokok di negara berkembang terhadap pemerintah negara maju. Misalnya, sejumlah produsen rokok Indonesia menggugat pemerintah AS terkait larangan impor rokok kretek beraroma masuk ke AS. Berbeda dengan sumber 'power' yang dimiliki pemerintah , 'power' yang dimiliki industri biasanya bersumber dari perjanjian-perjanjian bilateral atau multilateral (misalnya Trans Pacific Partnership) dan lembaga kerjasama dunia (misalnya WTO) yang menjamin perdagangan bebas, sehingga mereka dapat menggugat pemerintah yang mengeluarkan regulasi yang dianggap "menghambat" perdagangan bebas (misalnya batasan iklan, pajak khusus, dan lain-lain). Menariknya, penelitian ini bersifat kuantitatif dengan menggunakan regresi dengan melihat variabel-variabel indeks globalisasi KOF (Konjunkturforschung) yang dikeluarkan ETH Zurich, prediksi prevalensi merokok, GDP, dan sebagainya.

Pada level mikro, dibahas bagaimana posisi para penyembuh tradisional terkesan selalu dilucuti "power-nya", misalnya dengan menyebut para penyembuh tradisional sebagai "tidak terlatih", "tidak terampil", "tidak terdidik secara khusus", "tidak teregistrasi", "tidak diatur dengan baik", "tidak terorganisir" dan sebagainya. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan etnografi melalui participant observation and interpretative analysis. Penelitian menunjukkan bagaimana penyembuh tradisional tetap mendapat tempat khusus di kalangan masyarakat walaupun power-nya "dikurangi" oleh otoritas yang ada di negara tersebut. Bahkan banyak pasiennya adalah pejabat, yang mengakui bahwa meskipun mereka tidak dapat mengakui legalitas para penyembuh tradisional ini, namun mereka juga tidak akan bertindak jauh dengan misalnya melarang keberadaan para penyembuh tradisional.

Reportase Terkait

{jcomments on}

Think tanks and evidence based research-informing policies to accelerate health-related Sustainable Development Goals:

Think Tanks and Evidence Based Research-Informing Policies to Accelerate Health-Related Sustainable Development Goals:

Reporter: Putu Eka Andayani

hsr15

  Pengantar

Sesi ini dipandu oleh Canada's International Development Research Center yang bekerja untuk membawa pengalaman terbaik IDRS dalam pemrograman kesehatan dan Think Tank Initiative untuk melanjutkan diskusi mengenai bagaimana peran Think Tank dan dunia akademis untuk mendukung penguatan sistem kesehatan di level nasional maupun internasional dan mengakselerasikannya dengan tujuan SDGs. Sesi ini ditujukan khusus bagi participants tertentu dan mendapat undangan, namun dapat diikuti oleh yang lain.

Agar menarik, sesi ini dibuat dalam bentuk dialog. Sebuah meja bundar ditempatkan ditengah-tengah ruangan dengan beberapa kursi yang ditempati oleh pemandu acara dan narasumber. Peserta duduk di kursi-kursi yang diposisikan melingkar mengelilingi meja yang di tengah. Pemandu melemparkan suatu isu atau masalah untuk ditanggapi oleh para narasumber. Kemudian para narasumber dipersilakan duduk diantara peserta dan pemandu memberi kesempatan pada peserta yang ingin mengemukakan respon atau ide-idenya terkait dengan masalah tersebut, untuk duduk di tengah-tengah, secara bergantian.

Sejauh mana SDGs menjadi perhatian bagi negara-negara di dunia, khususnya negara berkembang?

Disadari bahwa SDGs adalah tujuan yang ambisius dan transformatif, dimana upaya pencapain targetnya menjadi tanggung jawab masing-masing negara. Meeting besar yang melibatkan berbagai jaringan dalam IDRC telah melakukan pertemuan konsultasi di beberapa tempat (Vancouver, Berlin, Geneva, Rio De Jenairo, Kampala (Uganda) dan terakhir Islamabad) untuk membahas implementasi dan monitoring SDGs khususnya yang terkait dengan kesehatan.

Di Peru, SDGs belum menjadi prioritas pemerintah sehingga belum menjadi agenda nasional. Peru saat ini masih fokus pada isu mendasar seperti social security dan akses ke pelayanan kesehatan.

Menurut narasumber, dalam pencapaian SDGs, bukan hanya policy makers namun seluruh stakeholders termasuk lembaga think tank ikut bertanggung jawab dalam pencapaiannya. Kegagalan pencapaian ini salah satunya karena adanya agenda politik yang tidak sejalan. Oleh karenanya perlu ada aksi dan kolaborasi lintas-sektor. Jadi peningkatan kapasitas bukan hanya untuk policy makers melainkan juga untuk semua. Akademisi perlu bergerak lebih aktif untuk men-generate knowledge sehingga ada pemahaman lebih baik terhadap masalah yang terjadi. Universitas tidak bisa hanya meluluskan sarjana/pasca sarjana dan melakukan riset melainkan harus aktif memberikan masukan untuk aksi nyata

Di India, SDGs sedang di-endorse untuk menjadi agenda nasional. Dalam bidang kesehatan, target yang ditetapkan sangat jelas. Institusi lintas sektor bekerja sama bersama dengan masyarakat pada grup target. Ada social security agenda yang bersifat jangka panjang, dengan tujuan untuk menciptakan cross-cutting groups, mendapatkan anggota, melakukan pekerjaan social-sciences pada grup target tersebut, menggunakan media TV untuk menginformasikan kepada masyarakat mengenai isu-isu yang perlu menjadi perhatian.

Mexico mengakui bahwa beberapa target MDGs belum tercapai. Tahun 2015 Kementerian Kesehatan Mexico menerapkan regulasi bahwa semua ibu hamil harus melahirkan di rumah sakit, namun tidak ada data hasil monitoring dari pelaksanaan kebijakan ini.

Bagaimana Peran Think Tank dalam Upaya Membantu Negara Mencapai Tujuan SDGs?

Di Tanzania, private sector cukup dilibatkan agar program yang mereka lakukan in-line dengan prioritas pembangunan nasional. Kuncinya antara lain data harus tersedia, lakukan kolaborasi dan harus ada transparansi.

Di Zimbabwe, lembaga Think Tank ada di universitas. Negara ini sedang fokus pada isu qualitas pelayanan kesehatan dan ekuitas. Masyarakat ingin dilibatkan dalam aksi-aksi untuk mengatasi masalah kesehatan.

Di Mexico tadinya lembaga Think Tank bekerja pada area yang sangat spesifik dan tidak menyentuh pada penguatan fasilitas kesehatan. Lalu berbagai lembaga Think Tank mencoba berkolaborasi untuk mencapai minimum goals. Namun masih ada kekurangan kapasitas untuk meng-cover area yang begitu luas.

Di Peru, lembaga universitas dan Think Tanks mulai memikirkan upaya auntuk mencapai tujuan SDGs. Dulu peran dan tanggung jawab tidak pernah dibicarakan dan dibagi. Kini semuanya mulai berkolaborasi termasuk dengan lembaga multi-sektor.

  Diskusi/Take home messages:

  1. Banyak negara bekembang yang masih struggling dalam pencapaian MDGs, meskipun ada juga yang sudah mulai memasukkan tujuan-tujuan SDGs ke dalam agenda nasional mereka.
  2. Di Indonesia, meskipun tidak semua target MDGs tercapai, namun target SDGs sudah dimasukkan dalam perencanaan nasional (Bappenas). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia optimis bahwa tujuan-tujuan tersebut akan tercapai. Namun harus pula disadari bahwa perlu strategi luar biasa untuk mengejar ketertinggalan dan untuk mencapai target baru.
  3. Pencapaian target SDGs (dan juga MDGs) memperlukan kolaborasi antar-berbagai stakehonders. Akadmeisi dan Lembaga Think Tank perlu lebih proaktif dalam mengasulkan pengetahuan baru, mengajukan rekomendasi dan mengusulkan solusi serta melakukan berbagai upaya advokasi agar kebijakan yang dihasilkan dan aksi yang dilakukan sejalan antara tujuan SDGs, agenda nasional dan masalah nyata yang dihadapi.

Reportase Terkait

{jcomments on}

Momentum Toward UHC: Implications and Opportunities for small-to-medium Private Practices

Momentum Toward UHC:
Implications and Opportunities for small-to-medium Private Practices

(Meaghan Smith, Jeanne Holtz, etc)

Reporter: Shita Dewi

Sesi ini adalah sesi satelit yang berupa talkshow, dimana para narasumber 'diwawancarai' oleh moderator. Sesi ini khususnya berbicara mengenai pengalaman Strengthening Health Outcomes through Private Sector (SHOPS) Plus, sebuah inisiatif untuk meningkatkan hasil kesehatan melalui kerja sama dengan pihak swasta yang didanai oleh USAID.

http://www.shopsproject.org/ 

hsr14-5Sesi diawali dengan menceritakan pengalaman Kenya dalam melibatkan sektor swasta dalam upayanya mencapai UHC (cakupan kesehatan semesta). Konteks Kenya hampir sama dengan Indonesia: anggaran untuk kesehatan relatif rendah, belanja kesehatan hampir berimbang antara pengeluaran publik (34%) dengan pengeluaran out-of-pocket (32%), sistem kesehatan didominasi sektor publik (46%) tetapi proporsi sektor swasta sangat besar (40%) dan khususnya apabila memperhitungkan small-to-medium private practices/SMPP (klinik pratama, praktek pribadi atau praktek kelompok). Sistem asuransi kesehatan nasional Kenya baru mencakup 16% dari populasi, dan baru sedikit sekali sektor swasta yang memiliki kontrak dengan sektor swasta. Namun, mengingat Kenya berupaya mencapai cakupan kesehatan semesta, sementara mayoritas masyarakat lebih banyak mengakses sektor swasta, maka kerja sama asuransi kesehatan nasional dengan SMPP menjadi salah satu strategi utama.

Tantangannya, hampir sama seperti di Indonesia, SMPP di Kenya tidak terdata secara tepat berapa jumlahnya, walaupun terindikasi bahwa mereka lebih banyak berkembang di daerah-daerah urban dibandingkan di daerah pedesaan atau perbatasan. Tantangan lainnya adalah SMPP sebagian besar kurang terorganisasi, memiliki keterbatasan manajerial, memiliki range kualitas yang cukup besar, dan dihadapkan pada aturan-aturan yang menghalangi mereka untuk mengakses dana publik (misalnya tuntutan untuk terakreditasi, persyaratan administratif, dll). Ada pula hambatan yang tidak langsung, yaitu sering terlambatnya pembayaran asuransi kesehatan nasional ke SMPP, padahal SMPP biasanya tidak memiliki sumber daya keuangan yang cukup untuk belanja obat, dan lain-lain, apabila cashflow mereka terganggu oleh keterlambatan pembayaran.

Reformasi yang dilakukan di Kenya adalah upaya menggunakan social franchising untuk dapat dimanfaatkan oleh SMPP untuk mengakses dana publik (mendapat kontrak dengan asuransi kesehatan nasional). Dengan cara ini, asuransi kesehatan nasional dapat memperluas cakupan layanan yang tersedia bagi pesertanya. Terdapat banyak keuntungan bagi SMPP untuk tergabung ke dalam social franchise. Social franchising membantu SMPP untuk meningkatkan kualitas mereka melalui 13 langkah stratejik sehingga dapat memenuhi tuntutan untuk terakreditasi. Franchise memfasilitasi self-regulatory. Selain itu tergabungnya mereka ke dalam franchise ini memungkinkan SMPP untuk menegosiasikan harga yang lebih baik dalam pembelian obat, alkes dan BMHP. Franchise juga memungkinkan mereka untuk negosiasi kontrak dengan asuransi kesehatan nasional. Kapitasi yang diterima sebagai anggota franchise lebih besar dibanding kapitasi sebagai SMPP yang berdiri sendiri.

  Take Home Message

UHC (cakupan kesehatan semesta) merupakan aspirasi, dan pertanyaannya bukan "Apakah untuk mencapainya diperlukan kerjasama dengan pihak swasta?", melainkan "Bagaimana dapat mencapainya dengan bekerjasama dengan pihak swasta?"

Social franchise bisa jadi salah satu solusi untuk lebih mengorganisir sektor swasta yang selama ini kurang terorganisir dan kurang terdata dengan baik sehingga seringkali "terabaikan" sebagai mitra potensial dalam mencapai cakupan kesehatan semesta. Namun, ini mengandung implikasi kerja besar untuk memiliki data yang lebih baik mengenai SMPP: siapa mereka, dimana mereka berada, bagaimana merancang kebijakan untuk menarik mereka untuk tergabung ke dalam social franchise? Pengalaman Kenya menunjukkan bahwa hal-hal ini dapat diatasi selama pemerintah memiliki komitmen yang cukup kuat untuk mengambil inisiatif.

Reportase Terkait

{jcomments on}

Welcome Plenary: Resilient People, Responsive Health System?

Welcome Plenary:
Resilient People, Responsive Health System?

hsr14-4

Malam ini diselenggarakan acara penyambutan acara Simposium Global ke-empat Penelitian Sistem Kesehatan.
Acara penyambutan diawali dengan sambutan dan doa dari tetua suku Indian yang merupakan penduduk asli Vancouver. Acara dilanjutkan oleh tari-tarian tradisional Indian yang bersifat sangat interaktif karena melibatkan para peserta simposium yang tertarik untuk ikut menari.

Tema dari acara penyambutan adalah Resilient People, Responsive Health System? yang berupaya menyoroti perspektif holistik mengenai well being yang dimiliki oleh masyarakat asli suatu wilayah dan bagaimana hal itu seharusnya dipertimbangkan dalam memahami sistem kesehatan secara keseluruhan di suatu negara (yang khususnya memiliki penduduk asli).

Pesan utama yang hendak disampaikan oleh pembicara adalah bahwa pasien dan masyarakat jauh lebih penting daripada data dan statistik. Peneliti dan pembuat kebijakan perlu melihat melampaui angka, rasio dan proporsi, karena di balik setiap angka dalam statistik adalah seseorang yang memiliki cerita hidupnya sendiri, yang status kesehatannya sangat dipengaruhi oleh determinan sosial, yang hidup di dalam konteks yang berbeda yang terkadang membatasi pilihan-pilihan yang dapat dibuatnya.

Sistem kesehatan seharusnya melakukan transformasi dengan menghormati pula kearifan lokal terkait perspektif kesehatan yang lebih holistik. Sistem kesehatan pada umumnya lebih terfokus pada pengobatan orang sakit: sistem ini membelanjakan begitu banyak uang untuk tenaga kesehatan, obat dan peralatan diagnostik dan treatment setelah orang tersebut sakit; namun kurang membelanjakan untuk mencapai dan menjaga well being.

Reportase Terkait

{jcomments on}

Why Should Researchers Use Ssocial Media?

backk Back

There are many academics who have embraced social media as a tool for research dissemination and engagement, and these resources show how to make the most of social media.

  Using Instagram

Additional Resources

http://healthsystemsresearch.org/hsr2016/training-resources/

 

Communicating Through The Media

backk Back

Engaging with the media is an important way to communicate your research to external audiences. It can help to disseminate your knowledge and ideas, stimulate debate, influence policy makers and practitioners and raise your profile as an expert in your field. This guide provides an overview of the main principles of media engagement for researchers, particularly for researchers who do not have access to support from a communications specialist.

  Media Engagement Guide

Additional Content:

http://healthsystemsresearch.org/hsr2016/training-resources/

 

Policy Engagement

backk Back

With demands on researchers to demonstrate the impact of their work ever increasing, the ability to successfully identify and engage with policy audiences is critical. There is an extensive body of literature that already exists around impact, policy influence and engagement and the research policy nexus which can be overwhelming. This short guide aims to provide some practical advice and guidance on some of the most commonly used approaches, tools and tactics for effective policy engagement and some examples of how they can be applied in a health context.

  HSG Policy Engagement Guide

Additional content:

http://healthsystemsresearch.org/hsr2016/training-resources/