Menkeu Baru Harus Naikkan Nilai PBI BPJS

irgan Irgan Chairul Mahfiz, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI saat diwawancarai wartawan (Jakarta, 25/3/2013)Jakarta-PKMK. Kemungkinan pergantian menteri keuangan RI dalam waktu dekat ini tidak boleh mengubah komitmen terhadap penentuan nilai penerima bantuan iuran (PBI) di Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Siapapun menteri keuangan yang baru, harus berkomitmen untuk menaikkan nilai PBI tersebut, ungkap Irgan Chairul Mahfiz, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, mengatakan hal tersebut di Jakarta (Senin, 25/3). Komitmen menaikkan nilai PBI tidak terkait figur menteri keuangan. Tapi, hal ini menyangkut kesiapan Pemerintah Indonesia untuk menjalankan BPJS Kesehatan dengan tepat.

Nilai PBI sebesar Rp 15.483 per orang per bulan yang diusulkan Kementerian Keuangan RI, terlalu kecil, ungkap Irgan. "Pemerintah Indonesia seharusnya bisa mengalokasikan nilai yang lebih besar. Kalau untuk alokasi anggaran lain bisa lebih besar, kenapa untuk PBI tidak bisa?" kata legislator dari Partai Persatuan Pembangunan itu. Ia pun menambahkan, usulan nilai PBI dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) lebih besar. Demikian pula usulan nilai dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). "Maka, Pemerintah Indonesia harus menaikkan besaran nilai PBI agar pelayanan kesehatan masyarakat bisa ter-cover dengan baik. Pada prinsipnya, Komisi IX telah sepakat dengan DJSN dan IDI tentang kenaikan nilai itu," tambah Irgan.

Apakah Komisi IX DPR RI akan menyampaikan interpelasi kepada Pemerintah Indonesia terkait hal itu? "Saya kira belum sampai ke tahap interpelasi. Pada pertemuan berikutnya dengan Menteri Keuangan RI dan Menteri Kesehatan RI, kami akan menanyakan lagi soal nilai PBI yang terlalu kecil itu." Kemudian, ia mengatakan bahwa pertemuan tersebut akan berlangsung secepatnya. Sebisa mungkin, sebelum Sidang Paripurna DPR RI di April 2013 pertemuan tersebut sudah berlangsung. "Lebih cepat, lebih baik dan sekali lagi, belum sampai tahap interpelasi karena Pemerintah Indonesia juga masih mengalkulasi nilai PBI itu," ujarnya.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi Terancam Class Action

Pernyataan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang menilai Rancangan Undang-Undang Pertembakauan (RUU Pertembakauan) dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas desakan pengusaha rokok sebagaimana diwartakan beberapa media dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap DPR.

"Menkes berburuk sangka dan melecehkan DPR. Seolah anggota DPR tenaga upahan/pabrikan," tegas anggota Baleg DPR Hendrawan Supratikno di Jakarta, seperti yang tertulis dalam keterangan pers yang dikirim ke redaksi Tribunnews.com, Minggu (24/2/2013).

Hendrawan mempertanyakan logika yang dipakai Menkes. "Apakah logika yang sama dipakai Menkes, bahwa PP No. 109 Tahun 2012 terbit karena Menkes dapat bantuan dana dari asing? Apakah Menkes menjadi kekuatan komprador asing?," tanyanya.

Menanggapi pernyataan Menkes, anggota Baleg lain, Poempida Hidayatulloh mengingatkan agar Menkes hati-hati dalam mengkritisi DPR, karena DPR mempunyai imunitas dalam berpendapat. Sebaliknya, pernyataan seorang menteri yang salah dapat berdampak masalah hukum. "Yang jelas kebijakan Menkes adalah titipan asing," tegas Poempida.

Menkes, lanjut Poempida seyogianya mempunyai visi yang seimbang dalam membuat kebijakan. Karena jika kebijakan dilandasi ketidakadilan, kebijakan tersebut dapat dikategorikan inkonstitusional.

"Dalam konteks ini, Menkes harus berhenti berwacana dan segera menyelesaikan berbagai masalah pelayanan kesehatan yang menjadi sorotan akhir-akhir ini," ungkapnya.

Ketika ditanya apakah ada kemungkinan DPR melakukan langkah-langkah untuk mengingatkan Menkes?

Poempida menjawab jika sikap Menkes tidak juga berubah dan tidak menunjukan sikapnya sebagai negarawati yang mengutamakan kepentingan masyarakat berdasarkan azaz keadilan, DPR tidak akan segan-segan melakukan class action."DPR bisa lakukan class action untuk ingatkan Menkes!," ujar politisi Partai Golkar ini.

(sumber: www.tribunnews.com)

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi Terbujuk Bisikan Asing Soal Tembakau?

Pernyataan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang menilai Rancangan Undang-Undang Pertembakauan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas desakan pengusaha rokok beberapa hari lalu ditanggapi Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri). Menurut Sekjen Gappri, Hasan Aoni Aziz US, pernyataan Menkes tersebut mengecilkan arti tembakau bagi petani.

"Menkes mungkin sedang flanking (berkelit) untuk tidak berhadap-hadapan dengan petani, sehingga paling mudah ya kritik pengusaha," katanya, seperti yang tercantum dalam rilis yang dikirim ke redaksi Tribunnews.com, Kamis (21/3/2013).

Hasan mengingatkan bahwa ini tahun politik, jadi jangan kompori hal-hal yang bisa menjadikan kondisi tidak stabil. Kalau pernyataan Menkes terus-menerus seperti itu, nanti kalau petani datang ke Jakarta jangan salahkan mereka.

"Kami khawatir, pernyataan Menkes yang sangat anti tembakau itu bisa mendorong ribuan petani berduyun-duyun datang ke Jakarta dan protes,"imbaunya.

Tembakau bagi petani adalah hak hidup, hak ekonomi untuk memilih tanaman apa yang bebas dipilih mereka. Hasan mempertanyakan apa bisa dijamin jika tembakau tidak ditanam lalu petani akan lebih sejahtera? Apa bisa dijamin jika menanam tanaman lain lalu harga jadi lebih baik? Apa juga bisa dijamin jika tidak ada asap rokok dari tembakau itu, lalu tidak akan ada asap lain yang jauh lebih berbahaya?

"Soal bahaya asap rokok kan sudah diatur. Tetapi tembakaunya sebagai tanaman belum diatur. Petani meminta hak ini," tegasnya.

Jadi, upaya Menkes melarang dan mendrop RUU Pertembakauan adalah sikap yang tidak arif sebagai seorang pejabat bahkan cenderung semena-mena.

"Apa Menkes akan manut saja dengan bisikan dari asing? Apa Menkes memang memusuhi petani tembakau dan menganakemaskan pengusaha farmasi?," tanyanya.

Hasan menilai kritik yang dilakukan Menkes sebetulnya seperti peribahasa "menepuk air didulang, terpercik muka sendiri". Dengan program kesehatan yang didukung dana farmasi asing, sama halnya Menkes tengah mempertahankan bisnis obat-obatan farmasi melalui rumah sakit.

Kita tahu banyak dokter binaan Menkes yang hidupnya dari fee obat-obatan farmasi yang dirujuknya. Bahkan, sampai obat dan biaya rumah sakit jadi mahal dan rakyat miskin dilarang sakit. Banyak pihak menduga karena kong-kalingkong ini.

"Ini sudah common sense. Saya kira ini yang harusnya diurus Menkes. Jangan sampai nanti LSM anti korupsi dan KPK memeriksa Menkes dan seluruh jajarannya karena hal itu," ungkapnya.

Lebih lanjut Hasan mengungkapkan, industri farmasi asing setelah menghajar tembakau dan rokok di berbagai negara, sekarang menjual obat-obatan pengganti nikotin (nicotine replacement therapy) dengan nilai ratusan juta dolar. Dalam hal ini kecurigaan Wanda Hamilton, dosen dan penulis di Amerika Serikat terhadap peran farmasi dalam gerakan anti-tembakau benar adanya.

"Kami justru curiga, jangan-jangan komentar Menkes ini adalah upaya pengalihan isu karena gagal dalam menangani pasien di rumah sakit. Kan banyak kematian bayi dan orang miskin karena rumah sakit terbatas palayanannya," ujarnya.

Terkait RUU Pertembakauan, RUU ini memberikan ruang kebebasan bagi petani untuk berusaha. Jika melihat laporan Baleg DPR, ada banyak naskah akademik (NA) dari berbagai perguruan tinggi untuk RUU ini.

Hasan menyarankan jika Menkes mempunyai usulan sebaiknya sampaikan melalui saluran yang ada. Sehingga, diharapkan suatu UU kelak akan mengakomodir semua pihak secara proporsional dan bertanggung jawab.

"Kami sarankan mari kita slow down, tidak memicu kegaduhan politik di tengah kesulitan petani dalam mempertahankan hak hidupnya, juga di tengah rakyat akhir-akhir ini meminta hak mendapatkan pelayanan kesehatan secara layak.

(sumber: www.tribunnews.com)

Program Internship Dokter Masih Pro dan Kontra

JAKARTA - DPR RI membentuk Panja terhadap Program Internship Dokter Indonesia dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Hal itu mengemuka dalam Raker Komisi IX DPR RI bersama Kemenkes, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan Ikatan Senat Kedokteran di Gedung DPR RI, Senayan.

Anggota Komisi IX DPR RI, Aditya Anugrah Moha yang akrab disapa ADM mengatakan ada pro dan kontra terhadap persoalan tersebut. "Program itu, ada menolak dan menerima dari para dokter itu sendiri," kata ADM usai Raker, Selasa (19/3/2013).

Politisi Golkar dari dapil Sulut ini mengaku, mendapat masukan dari IDI, ada kejanggalan baik dari pendaftaran dan hasilnya terhadap uji Kompetensi, karena ada kaitannya dengan program Internship.

"Ada inkoneksitas. Kita menekankan untuk evaluasi menyeluruh. Internship dan Kompetensi, jangan sampai menyulitkan gelar dokter yang sudah susah payah di dapatnya," katanya.

Politisi dari Golkar dapil Sulut ini menilai, konsep sudah bagus. Namun pelaksanaannya ada kejanggalan. Harus telisik ada keterkaitan menyangkut kesetaraan kewenangan Dirjen Dikti dan pelayanan di Depkes.

Terkait intensif sebesar Rp 1,2 juta per bulan bagi setiap Dokter, Partainya mendorong ada penambahan dalam APBNP 2013.

Sedangkan anggota Fraksi Demokrat, Prof Dina Mahdi menganalogikan program tersebut, kepala dilepas ekor di pegang. Sehingga perlu dibahas bersama.

Okky Asokawati dari fraksi PPP menegaskan, program Interhensif berada di pendidikan atau pelayanan.

"Kalau pelayanan domainnya Kemenkes," katanya.

(sumber: www.tribunnews.com)

Rokok Sejahterakan Rakyat hanya Mitos

Jakarta - Advokat Muhammad Joni mengatakan bahwa anggapan industri rokok menyejahterahkan masyarakat merupakan mitos belaka. Pasalnya, sebanyak 85 persen saham perusahaan rokok telah dikuasai oleh asing. Sementara Indonesia hanya mati-matian untuk membiayai orang yang sakit karena rokok.

"Sebanyak 85% saham perusahaan rokok dimiliki asing. Keuntungannya terbang ke luar negeri, sementara di Indonesia kita mati-matian membiayai orang yang sakit karena rokok," katanya dalam konferensi pers di Sekretariat Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jakarta, Senin (18/3).

"NTB yang merupakan salah satu penghasil tembakau terbesar di Indonesia, justru termasuk daerah termiskin di negeri ini," sambungnya.

Pada kesempatan itu, Joni juga menyayangkan murahnya harga rokok di Indonesia, ketimbang Singapura dan Malaysia. "Harga rokok sangat murah di Indonesia. Seharusnya cukai berkontribusi terhadap masalah ini. Produk rokok Indonesia harus bisa mematuhi aturan rokok di luar negeri, yang telah disepakati," paparnya.

Sementara itu, mantan anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Hakim Sorimuda Pohan mengungkapkan bahwa sebanyak 239 ribu orang di Indonesia meninggal akibat rokok per tahunnya. Ironisnya, Pemerintah tak kunjung meratifikasi aturan soal tobbaco control yang dikeluarkan "World Health Organization" (WHO).

"Dari 192 negara anggota WHO, sebanyak 176 negara telah setuju dengan aturan tersebut. Dan, dari 41 negara Asia Pasifik, hanya Indonesia yang tidak menandatangani. Dari seluruh negara ASEAN, Indonesia pula satu-satunya yang tidak setuju," kata Hakim.

Padahal, selain masalah kesehatan, indrustri rokok juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. "Di Nusa Tenggara Barat (NTB), masyarakat menggunakan kayu bakar untuk mengeringkan tembakau. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan. Data dari Dinas Kehutanan NTB setiap tahunnya juga terjadi penggundulan hutan seluas 40 hektare akibat tembakau," katanya.

Pengurus Harian Yayasan Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan bahwa rokok adalah proses memiskinkan rakyat miskin. "Lebih dari 70 persen perokok di Indonesia berasal dari rakyat miskin. Ini merupakan proses pemiskinan akibat industri rokok," ujarnya.

(sumber: www.beritasatu.com)

Alokasi Subsidi Kesehatan Terlalu Minim

Jakarta - Kalangan DPR meminta pemerintah mengalokasikan anggaran lebih besar untuk subsidi kesehatan, terutama untuk pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional yang akan berlaku pada Januari 2014.

"Pemerintah jangan terlalu pelit mengeluarkan anggaran untuk kesehatan rakyat. Ini menyangkut investasi jangka panjang untuk kemajuan bangsa," kata anggota Komisi IX DPR RI, Zuber Safawi, di Jakarta, Senin (18/3/2013).

Menurut Zuber, dibandingkan dengan alokasi subsidi di sektor energi yang pada 2013 mencapai Rp 274,7 triliun, subsidi sektor kesehatan tahun yang sama, antara lain Jamkesmas bagi 86,4 juta jiwa dan Jampersal bagi 2,7 juta jiwa ibu hamil, hanya sebesar Rp 8,3 triliun.

"Artinya, subsidi kesehatan untuk masyarakat miskin hanya 3 persen dari subsidi energi kita," katanya.

Zuber menyayangkan sikap Menteri Keuangan, yang hanya bersedia membiayai kesehatan rakyat miskin (penerima bantuan iuran) Rp 15.000 per orang per bulan. Jumlah ini jauh lebih kecil daripada usulan beberapa pihak seperti Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, Askes, dan DPR yang berkisar antara Rp 20.000-Rp 36.000 per orang.

"Ini bukti pemerintah masih kurang berpihak pada masyarakat kecil," katanya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menegaskan pemerintah hanya akan menganggarkan Rp 16,07 triliun di RAPBN 2014, untuk penerima bantuan iuran (PBI) atau besaran premi PBI Rp 15.500 per orang per bulan. Kementerian keuangan mengkhawatirkan beban fiskal yang muncul akibat pembengkakan BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014.

"Saya justru khawatir alasan fiskal adalah sesuatu yang dibuat-buat. Coba cermati, produk domestik bruto (PDB) kita tumbuh 7 persen per tahun, dan saat ini Indonesia masuk negara 20 besar dunia dengan PDB tertinggi," ungkapnya.

Mengutip data IMF, Zuber menyebutkan bahwa Indonesia masuk peringkat ke-16 negara tertinggi PDB-nya dengan nilai 845 miliar Dollar AS. Sementara menurut Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat 18 dengan PDB mencapai 706 miliar dollar AS.

Bahkan, diprediksi PDB Indonesia pada 2014 akan mencapai 1 triliun dollar AS atau sekitar Rp 9.500 triliun.

Zuber mempertanyakan besarnya pendapatan pemerintah dari cukai rokok yang mencapai Rp 84 triliun pada 2012. "Coba bayangkan risiko kesehatannya dari penjualan rokok yang besar itu. Harusnya ada kompensasi besar pula bagi masyarakat," katanya.

(sumber: nasional.kompas.com)

Hatta Rajasa Dorong Industri Obat Herbal

Semarang - Indonesia memiliki peluang yang besar bagi pengembangan industri sekaligus pemasaran obat-obatan herbal (nonkimia). Ini tak terlepas dari berkembangnya tren pengobatan herbal. Serta tuntutan kebutuhan hidup sehat masyarakat kelas menengah.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, saat ini impor obat-obatan Indonesia masih sekitar tujuh miliar dolar AS. Artinya, pangsa pasar obat-obatan yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan farmasi nasional masih terbuka luas.

"Masyarakat kelas menengah kita mulai menginginkan pola hidup yang sehat," ungkap Hatta di sela kunjungan kerja ke industri jamu PT Sido Muncul bersama Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, Sabtu (16/3).

Tren pengobatan di dunia, lanjutnya, mengarah pada pola alamiah. Demokian juga ketika mencari obat-obatan. Masyarakat cenderung menginginkan obat yang tanpa zat kimia buatan.

Ia pun memperkirakan, pada 2030 akan ada kelas menengah dengan daya beli mencapai 1,8 triliun dolar AS. Dari jumlah itu, pendapatan yang terbesar akan dibelanjakan untuk pendidikan dan kesehatan.

Di lain pihak, lanjut Hatta, negeri ini sangat terkenal degan keahlian di bidang obat tradisional, terutama jamu. Ini dibuktikan dengan adanya ribuan perusahaan jamu tradisional yang tersebar di Tanah Air.

"Jangan sampai pangsa pasar yang besar ini justru diisi oleh jamu-jamu dari uar negeri. Percaya lah, bicara soal jamu, kita lebih hebat dari bangsa-bangsa lain di dunia," tegasnya.

Pemerintah, ujarnya, mendorong lahirnya perusahaan farmasi nasional yang mengandalkan bahan baku lokal. Sehingga, bisa mengurangi ketergantungan impor dan pemborosan devisa negara.

(sumber: www.republika.co.id)

Asosiasi Klinik Minta Dilibatkan Bahas BPJS

Jakarta – Banyak kalangan masih mempersoalkan besaran iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang untuk sementara disetujui Kementerian Keuangan (Kemkeu) sebesar Rp15.500 per orang per bulan. Asosiasi Klinik Indonesia (Asklin) juga mempersoalkan besaran PBI yang diusulkan Kemkeu tersebut.

"Asklin sebenarnya meminta PBI dilihat dari kapitasi yang ideal atau keekonomian agar mengakomodir kepentingan semua komponen pelayanan di klinik," ujar Ketua Umum Asklin dr Eddi Junaidi di sela acara Asklin Indo Clinic Expo (Asklin ICE) 2013, di Jakarta, Kamis.

Dr Eddi mengatakan, kapitasi yang ideal untuk pelayanan kesehatan di klinik adalah sebesar Rp15.000 sampai Rp20.000. Rincian biaya ini terdiri dari gaji dokter, minimal 2 dokter untuk klinik rawat jalan, dan lebih untuk rawat inap, gaji tenaga kesehatan lain termasuk dokter gigi, serta obat-obatan. Belum lagi untuk penyusutan dan pemeliharaan gedung, juga termasuk biaya peningkatan sumber daya manusia di klinik dan lainnya.

"Asklin tidak bicara besaran iuran PBI, tetapi kapitasinya. Kami minta kapitasi untuk klinik Rp15.000 sampai Rp 20.000. Itu pun jumlah kapitasinya dari kunjungan rutin antara 5.000 sampai 10.000 jiwa penduduk," kata Eddi.

Asklin juga protes kepada pemerintah karena tidak pernah dilibatkan dalam proses persiapan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang akan dilaksanakan pada 1 Januari 2014 mendatang, meskipun selalu dianggap sebagai gatekeeper pelayanan kesehatan di masyarakat.

Termasuk dalam perhitungan besaran iuran PBI, yakni orang miskin dan tidak mampu yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah pada BPJS Kesehatan.

Meskipun demikian, kata Eddi, pihaknya terus mengadvokasi klinik di seluruh pelosok untuk menghadapi BPJS. Terutama dari sisi standar pelayanan, sarana prasarana dan mutunya. Pasalnya sebagai fasilitas layanan primer dan sekunder yang paling dekat dengan masyarakat, kontribusi klinik sangat menentukan, terutama untuk memenuhi ketersediaan tempat tidur.

Yang paling penting dipersiapkan saat ini, menurut Eddi adalah legalitas klinik. Masih banyak klinik yang belum diakui legalitasnya, yang dikarenakan antara lain kelalaian klinik sendiri untuk mengurus atau pun peraturan daerah yang mempersulit.

KLINIK PESAT

Menurut dia, perkembangan klinik di Tanah Air makin pesat, tetapi belum terkoordinir dengan baik. Saat ini diperkirakan ada 20.000 klinik, tetapi Dinas Kabupaten/Kota tidak cukup tenaga untuk mengawasi maupun melakukan pembinaan terhadap mereka. Menurutnya, selama ini klinik hanya memberikan pelayanan atas dasar standar perijinan dari Dinas Kesehatan di daerah, tetapi untuk evaluasinya belum ada pihak yang melakukannya.

Klinik juga hanya dapat memperpanjang ijin setiap lima tahun sekali, tetapi tidak ada evaluasi kinerja setiap tahun. Penerapan setiap klinik pun akhirnya berbeda, karena belum ada standar secara nasional.

Masih terkait kesiapan BPJS Kesehatan, secara terpisah, Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), BPJS Watch dan Majelis Perserikatan Buruh Indonesia (MPBI) menolak jumlah PBI yang ditetapkan pemerintah sebanyak 86,4 juta jiwa. Jumlah ini dipangkas dari yang ditetapkan sebelumnya dan disepakati dalam rapat koordinasi Menko Kesra, yang juga di dalamnya terlibat Menteri Keuangan, yakni 96,7 juta jiwa. Terkait pengurangan jumlah PBI ini, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sudah mengirimkan surat kepada Presiden maupun Menteri Keuangan untuk meminta agar jumlah 96,7 dipenuhi.

Menurut Sekjen KAJS Said Iqbal, definisi orang miskin dan tidak mampu yang masuk dalam PBI seperti yang tertuang dalam PP 101/2012 tentang PBI belum tepat. Jika mengacu pada UU 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, orang miskin adalah yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup layak. Kebutuhan hidup layak menurut UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan adalah upah minimum.

Berdasarkan definisi ini, maka menurut Said Iqbal jumlah PBI sebetulnya bisa mencapai 150 juta jiwa. Jumlah ini terdiri dari sekitar 80 jutaan pekerja formal penerima upah minimum bersama empat anggota keluarga, ditambah peserta Jamkesmas 2012 sebanyak 76,4 juta jiwa.

"Kami minta PBI termasuk di dalamnya pekerja buruh atau masyarakat yang penghasilannya sama dengan atau lebih kecil dari upah minimum,"ucapnya.

Menanggapi jumlah PBI ini, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri mengatakan, jumlah PBI sebanyak 86,4 juta diambil dari data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) BPS tahun 2011, yang divalidasi kembali oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Jumlah ini lebih sedikit dari data TNP2K, yakni sebanyak 96,7 juta atau sekitar 40 persen dari total penduduk Indonesia.

"Kami hanya ambil 86,4 juta karena sesuai kemampuan keuangan yang juga atas persetujuan DPR. Sisanya akan masuk ke skema Jamkesda. Tetapi ini untuk sementara, secara bertahap kita akan tingkatkan," kata Usman.

Sekretaris Eksekutif TNP2K Bambang Widianto mengatakan, jumlah 96,7 juta jiwa atau 24 juta rumah tangga miskin adalah kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan terendah berdasarkan by name by address.

Jumlah ini adalah gabungan dari orang sangat miskin dan miskin berdasarkan data BPS yakni sekitar 30 juta lebih (11,95 persen), dengan salah satu indikator pengukuran adalah pendapatan 1 dolar AS per hari atau sekitar Rp250 ribu per bulan atau sekitar Rp1 juta untuk satu rumah tangga. Sisanya adalah orang yang tidak mampu, yakni mereka yang pendapatannya sekitar Rp2-3 juta untuk satu rumah tangga. Kelompok ini tidak tergolong miskin, tetapi dengan pendapatan seperti ini mereka sangat rentan jatuh miskin ketika terjadi perubahan ekonomi.

Menurutnya, dari mekanisme pendataan kemungkinan data PPLS ada kesalahan, namun masih dalam tingkat toleransi atau wajar. Bisa dideteksi ada sekitar 3 persen data ini salah pendataan, dan 3 persen lagi karena orang pindah, meninggal, atau tidak lagi miskin. Tetapi dipastikan 92-94 persen data ini bisa diterima.

(sumber: www.poskotanews.com)