Hari kedua: The 8th Global Symposium on Health Systems Research

Selasa, 19 November 2024

Research that should matter at Primary Health Care level: linking demand and supply in Asia Pacific

Hari kedua HSR2024 diisi dengan kegiatan seminar, diskusi panel, dan peningkatan kapasitas. Hari ini juga menandai pembukaan resmi kegiatan HSR2024 di Nagasaki yang diisi dengan sesi pleno. Reportase ini mendokumentasikan berbagai kegiatan yang merupakan bagian dari rangkaian hari kedua HSR2024.

Salah satu kegiatan di hari kedua adalah sesi satellite bertajuk “Advancing learning systems for health in the Asia-Pacific Region through health policy and systems research”. Sesi ini berisi pemaparan dan diskusi kelompok. Sesi ini menghadirkan empat pemapar dari beragam institusi.

Pembukaan

Sesi ini dibuka oleh Dr Nima Asgari, direktur Asia Pacific Observatory (APO). Dalam pemaparannya, Asgari memperkenalkan APO sebagai suatu kemitraan yang mendukung evidence-informed health system policy di tingkat kawasan maupun nasional. Lebih jauh lagi, Asgari menjelaskan lima klaster tematik APO, yakni (1) Primary Health Care (PHC) untuk mendukung pencapaian Universal Health Coverage (UHC); (2) ketahanan sistem kesehatan; (3) kesehatan digital (memanfaatkan teknologi dan data untuk meningkatkan hasil kesehatan); (4) Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK), yang dirancang untuk kebutuhan kini dan nanti; serta (5) ketimpangan dalam kesehatan (aspek gender dan inklusi sosial dan aspek hard-to-reach). Untuk memperkuat kolaborasi, APO mendorong keterlibatan organik berbagai pihak melalui penyelenggaraan acara dan prakarsa, termasuk pembentukan local chapters yang melibatkan peneliti, organisasi kebijakan kesehatan, lembaga penelitian, pekerja kesehatan, pembuat kebijakan lokal, dan pemerintah.

Pembicara pertama

Pembicara pertama pada sesi ini adalah Manoj Jhalani, direktur Health Systems Development, WHO SEARO. Jhalani membuka paparannya dengan menggambarkan pelajaran penting dari pandemi COVID-19, yakni bahwa investasi awal dalam fondasi PHC untuk kesiapsiagaan dan respons adalah hal yang penting. Pandemi juga menegaskan pentingnya efisiensi PHC dalam mencapai UHC, keterlibatan komunitas, serta kolaborasi multisektoral. Komitmen politik terhadap PHC sebagai dasar UHC telah mendapat momentum, dimulai dari deklarasi Menteri Kesehatan Asia Tenggara pada bulan September 2021, yang menyebut pandemi sebagai pendorong transformasi sistem kesehatan berbasis PHC. Deklarasi ini diperkuat dalam pertemuan UNGA 2023, KTT G20, hingga Delhi Declaration pada Oktober 2023 yang menegaskan PHC sebagai elemen kunci UHC. Berbagai negara di kawasan Asia Tenggara juga telah memprioritaskan PHC dan menerbitkan kebijakan pendukung. Selain itu, Forum PHC, seperti yang baru-baru ini digelar di Jakarta, memfasilitasi pertukaran praktik baik antarnegara, memperkuat budaya sistem kesehatan yang terus belajar dan berinovasi sesuai konteks lokal.

Pembicara kedua

Sesi dilanjutkan dengan pemaparan dari Lluis Vinyals Torres, direktur Health Systems and Services WHO WPRO. Torres mengawali paparannya dengan menekankan kebutuhan terhadap PHC. Model pelayanan kesehatan yang ada saat ini tidak mampu menangani volume perawatan yang timbul terkait dengan tingginya beban penyakit tidak menular (PTM) dan ageing population. Isu perawatan jangka panjang, yang membutuhkan tenaga kerja dan model layanan yang memadai, juga perlu menjadi perhatian utama dalam konteks populasi yang menua. Torres juga mengatakan bahwa dengan ekonomi Asia Tenggara yang tumbuh pesat dan masyarakat yang semakin sadar akan kesehatan, PHC harus lebih responsif dan mampu membangun hubungan saling percaya yang berkelanjutan antara pasien dengan penyedia layanan kesehatan. Perubahan-perubahan ini menuntut pendekatan baru dalam mengorganisasi PHC untuk memastikan kebutuhan kesehatan terpenuhi secara efektif.

Torres memberikan contoh area tematik produksi pengetahuan yang relevan dengan tujuan di atas. Dalam konteks SDMK, selain terkait dengan ketersediaan dan maldistribusi, hal yang tidak kalah penting untuk dikaji adalah ketiadaan data dasar SDMK. Terkait dengan sistem informasi, fragmentasi sistem dan tingginya beban pengisian data menjadi isu. Torres menekankan bahwa pertukaran pengetahuan perlu terjadi antarnegara maupun antar unit dalam negara (misalnya provinsi). Dalam hal supply chain, isu mendasar yang diamati oleh Torres adalah bahwa kesehatan seringkali diatur oleh mekanisme pasar yang mempengaruhi ketersediaan item-item yang, kendati esensial, dianggap tidak mendatangkan keuntungan komersial. Torres menutup pemaparannya dengan memberikan pesan kunci bahwa pengetahuan yang diproduksi perlu diterjemahkan dan dikomunikasikan pada pembuat kebijakan, sehingga peran perantara kebijakan sangat dibutuhkan.

Pembicara ketiga

Pembicara terakhir dalam sesi ini adalah Dr Jasper Tromp dari National University of Singapore School of Public Health. Tromp memaparkan hasil kajiannya tentang lanskap penelitian PHC di Asia Tenggara (SEAR) dan Pasifik Barat (WPR) dan potensi menutup kesenjangan antara produksi pengetahuan dengan implementasi. Studi ini menggunakan metode systematic mapping artikel ilmiah yang dipublikasi dalam 10 tahun terakhir dalam bahasa Inggris atau Cina, diikuti dengan presentasi hasil awal dan workshop untuk mendiskusikan hasil tersebut.

Studi ini menemukan bahwa publikasi penelitian PHC di SEAR dan WPR meningkat sejak tahun 2014 dan mencapai puncaknya pada kisaran tahun 2020. Jika didisagregasi per negara, penelitian sebagian besar berasal dari Australia, China, dan India, diikuti oleh Malaysia, Selandia Baru, Singapura, dan Jepang. Beberapa negara, seperti Maladewa dan negara-negara Pasifik memiliki jumlah publikasi yang sangat rendah atau bahkan tidak ada sama sekali. Fokus penelitian di negara berpenghasilan tinggi (HIC) cenderung pada PTM, sementara negara berpenghasilan menengah dan rendah (LMIC) lebih banyak meneliti kesehatan ibu dan anak (MCH). Studi ini juga menemukan bahwa sebagian besar penelitian memiliki fokus penyampaian layanan, namun belum banyak yang berfokus pada sistem informasi kesehatan, kepemimpinan dan tata kelola, serta pembiayaan kesehatan. Pendanaan penelitian PHC di negara HIC didominasi oleh sumber domestik, sementara di LMIC dan negara-negara kepulauan Pasifik (PIC), proporsi pendanaan domestik jauh lebih rendah. Outcome penelitian sebagian besar berfokus pada kualitas dan efektivitas layanan., sementara outcome terkait keselamatan, akses atau cakupan layanan, serta responsivitas layanan belum banyak tersentuh.

Studi ini mengidentifikasi beberapa faktor yang menjadi tantangan dalam produksi penelitian PHC yang berkualitas. Pertama, penelitian sering kali tidak menjadi prioritas pembuat kebijakan dan lebih didorong oleh mitra pembangunan eksternal. Oleh karena itu, prioritas nasional untuk penelitian PHC perlu ditetapkan. Kedua, SDMK, terutama di fasilitas kesehatan, sering kekurangan waktu dan sumber daya untuk melakukan penelitian. Mengaitkan penelitian PHC dengan jenjang karier dianggap dapat menjadi solusi alternatif. Ketiga, pembatasan regulasi dan struktur penelitian, termasuk akses terbatas ke Institutional Review Boards (IRB), juga menjadi tantangan. Terakhir, terdapat kesenjangan signifikan antara peneliti dan orang-orang yang bekerja di lapangan, sehingga pertanyaan penelitian sering tidak relevan atau tepat waktu. Untuk mengatasi ini, diperlukan penguatan hubungan antara pemerintah, akademisi, klinisi, dan konsumen melalui community of practice dan kolaborasi penelitian. Selain itu, studi juga memberikan rekomendasi pendanaan domestik yang selaras dengan prioritas nasional untuk mendukung produksi penelitian PHC yang berkualitas.

Ketiga sesi ini kemudian diakhiri dengan sesi tanya-jawab dan diskusi berkelompok. Pada sesi tanya jawab, muncul pembahasan tentang diskoneksi antara peneliti dengan orang-orang yang bekerja di lapangan, tekanan politis untuk mengatasi permasalahan di lapangan, dan pentingnya pendekatan interdisiplin. Dalam kegiatan diskusi kelompok, timbul bahasan-bahasan tentang hal-hal yang mendukun kolaborasi dan penyelarasan riset PHC di tingkat nasional berdasarkan pengalaman berbagai negara. Konsep konsorsium PHC yang ada di Indonesia mendapatkan perhatian dari para peserta. Sesi ditutup dengan perenungan terkait kebijakan berbagi data riset PHC dan peninjauan kembali peran dan posisi seorang perantara kebijakan.

Planetary Health

Sesi pleno hari ini dibuka oleh Adnan Hyder (profesor dalam bidang kesehatan global di Milken Institute School of Public Health, The George Washington University), Steph Topp (profesor dalam bidang kesehatan global dan pembangunan di James Cook University Australia) dan Keizo Takemi (Menteri Kesehatan Jepang). Sambutan kegiatan ini memunculkan isu-isu untuk direnungkan, seperti misinformasi dan tekanan politik sebagai tantangan utama sains. Resiliensi menjadi kunci untuk melindungi integritas dan kredibilitas sains. Di samping tantangan bagi perkembangan sains, sistem kesehatan sebagai entitas yang kompleks dan politis perlu dipahami dan dioptimasi dengan upaya kolektif guna meningkatkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Sesi Pleno

Sesi pleno dibuka dengan pemaparan dari tiga pembicara dan dilanjutkan dengan diskusi panel. Pembicara dalam sesi ini terdiri atas Helen Clark (mantan Perdana Menteri Selandia Baru), Shweta Narayan (campaign lead, Global Climate and Health Alliance), dan Susannah Mayhew (London School of Hygiene & Tropical Medicine co-chair technical working group resiliensi iklim dan sistem kesehatan berkelanjutan).

Sebagai pembicara pertama, Clark mengatakan bahwa perubahan iklim sebagai ancaman serius kesehatan global telah diakui oleh WHO dan didokumentasikan dalam berbagai laporan. Selain itu, ancaman pandemi telah membuat jutaan orang menjadi rentan secara ekonomi. Kegagalan kebijakan, ketimpangan, dan ketidakadilan dalam menghadapi perubahan iklim harus menjadi perhatian utama. Kajian sistem kesehatan perlu meliputi peran pemerintah dan siapa yang seharusnya mengambil keputusan untuk menjaga keberlanjutan kesehatan iklim, termasuk mengeksplorasi upaya untuk mengurangi jejak karbon. Clark menutup pemaparannya dengan menekankan kolaborasi lintas sektor dan perlunya peran komunitas health policy and systems research (HPSR) harus mengambil peran aktif dalam membawa perubahan, memperbaiki komunikasi kesehatan dan sains kepada publik, serta melawan narasi anti-kesehatan dan anti-sains.

Selanjutnya, Narayan memantik dengan penekanan bahwa dunia saat ini menghadapi triple planetary crisis yang terdiri atas perubahan iklim, polusi (udara, air, dan tanah), serta hilangnya keanekaragaman hayati. Krisis iklim sudah terjadi sejak sekarang. Salah satu aspek yang dianggap paling merugikan adalah polusi udara akibat penggunaan bahan bakar fosil, dengan perkiraan biaya hingga 6% dari pendapatan domestik bruto (PDB) global. Narayan juga menyayangkan bahwa negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, yang memiliki kontribusi paling kecil dalam menyebabkan masalah ini, justru menjadi paling rentan terhadap dampaknya.

Melanjutkan pemaparan Narayan, Mayhew menjelaskan bahwa upaya mitigasi krisis iklim belum banyak berfokus pada sistem kesehatan. Mayhew juga menggunakan contoh Pandemi COVID-19 untuk membandingkan responsivitas pemerintahan di berbagai belahan dunia. COVID-19 ditanggapi dengan sangat cepat, namun banyak pemerintahan lambat menanggapi isu perubahan iklim. Selain itu, penurunan emisi yang terjadi di masa pandemi akibat restriksi mobilisasi sulit untuk dipertahankan tanpa perubahan paradigma ekonomi yang saat ini masih sangat bergantung pada teknologi berbasis fosil. Untuk mengatasi ini dan mencapai keadilan ekologi, Global Green New Deal diluncurkan. Mayhew menutup paparannya dengan menekankan bahwa sistem kesehatan yang tangguh, berkelanjutan, dan adil memerlukan langkah-langkah seperti memperluas visi dan kemitraan, berkontribusi pada tata kelola lintas sektor, penelitian yang lebih inklusif, pembiayaan inovatif ex ante, komitmen donor, model kepemimpinan baru, serta platform baru untuk produksi bukti (evidence) maupun memfasilitasi tindakan.

Acara dilanjutkan dengan sesi diskusi yang dimoderatori oleh Renzo Guinto, associate professor SingHealth Duke-NUS Global Health Institute. Sesi diskusi ini memunculkan gagasan tentang peran komunikasi kesehatan dalam isu iklim. Komunitas kesehatan telah terlibat dalam negosiasi iklim, seperti di Paris Agreement, untuk memastikan isu kesehatan menjadi perhatian dalam tata kelola iklim global. Berbagai bukti sejarah, seperti upaya yang dilakukan oleh John Snow untuk menemukan penyebab kolera di Inggris, menunjukkan bahwa komunitas kesehatan memiliki peran strategis dalam memperjuangkan kebijakan berbasis bukti yang berorientasi pada kesehatan masyarakat. Selain itu, pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa kesehatan bisa menjadi topik advokasi yang kuat dalam mendesak aksi cepat berdasarkan bukti di lapangan. Sistem kesehatan dan komunitas penelitian juga perlu direorganisasi untuk mempercepat pengambilan keputusan dan aksi yang lebih responsif terhadap ancaman perubahan iklim.

Sesi pleno dan pembukaan HSR2024 diakhiri dengan pemberian penghargaan kepada insan-insan yang dianggap berprestasi serta berdedikasi dalam bidang HPSR serta penampilan kesenian dari kelompok mahasiswa Nagasaki University.

Reporter:
Mentari Widiastuti  (Divisi PH, PKMK FK-KMK UGM)

 

Link Terkait

 

Sesi Pra-Konferens, The 8th Global Symposium on Health Systems Research 2024

Senin, 18 November 2024

Advancing learning systems for health in the Asia-Pacific Region through health policy and systems research

Hari pertama HSR2024 merupakan sesi pra-konferens yang terdiri atas seminar, diskusi panel, dan peningkatan kapasitas. Reportase ini mendokumentasikan berbagai kegiatan yang merupakan bagian dari rangkaian hari pertama HSR2024.

Salah satu sesi seminar diskusi di hari pertama berjudul “Advancing learning systems for health in the Asia-Pacific Region through health policy and systems research”. Sesi ini terdiri dari empat bagian yang terdiri dari 2 sesi pemaparan dan 4 sesi diskusi panel.

Pemaparan Pertama

Sesi ini dimoderasi oleh Kumanan Rasanathan yang merupakan Direktur Eksekutif Alliance for Health Policy and Systems Research. Sesi ini menghadirkan dua pembicara, yakni Dr. Viroj Tangcharoensathien (senior health advisor International Health Policy Program, Kementerian Kesehatan Thailand) serta Diah Satyani Saminarsih (pendiri dan chief executive officer / CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives / CISDI).

Tangcharoensathien memaparkan bahwa sebuah learning health system membutuhkan ketersediaan dan analisis data beban penyakit, akun kesehatan, dan akun sumber daya manusia kesehatan (SDMK). Pendekatan partisipatif multisektoral juga merupakan aspek yang penting, utamanya ketika menghadapi isu kompleks seperti pengendalian resistensi antimikroba.  Selain itu, analisis kebijakan yang aktif dan kemampuan untuk mengubah arah kebijakan manakal diperlukan juga menjadi kunci sebuah learning health system. Tangcharoensathien menekankan bahwa proses evidence to policy atau penerjemahan bukti penelitian menjadi kebijakan memerlkukan kapasitas nasional yang kuat. Sebuah negara idealnya lebih memahami konteks lokalnya dibandingkan mitra eksternal mana pun. Tangcharoensathien menggarisbawahi posisi peneliti dan akademisi yang seringkali tidak berada di pusat lingkaran kebijakan membuat proses ini menemui tantangan. Oleh karena itu, penelitian kebijakan dan sistem kesehatan atau health policy and systems research (HPSR) memiliki kesempatan untuk meningkatkan kapasitas akademisi dan peneliti dalam berkomunikasi dengan pembuat kebjiakan. Selain itu, HPSR juga diharapkan mampu mengeksplorasi lebih dalam keterampilan policy entrepreneurship yang terdiri atas pemahaman mendalam tentang pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan dan kemampuan komunikasi yang efektif untuk untuk penyampaian pesan dan pertanyaan kebijakan yang relevan.

Pembicara kedua, yakni Saminarsih, menggarisbawahi peran pelayanan kesehatan primer atau primary health care (PHC) sebagai tulang punggung sistem kesehatan Indonesia. CISDI sebagai sebuah think tank telah mendorong agenda ini selama lebih dari satu dekade dan pada akhirnya diakui oleh Kementerian Kesehatan Indonesia. Pada tahun 2012, CISDI meluncurkan program Pencerah Nusantara untuk menguji perubahan proses bisnis PHC di daerah pedesaan. Prinsip dari program ini kini telah diperluas dan diterapkan hingga ke puskesmas pembantu.

Saminarsih juga menjelaskan bahwa dalam konteks HPSR di Indonesia, tata kelola merupakan tantangan utama sekaligus faktor pengungkit. Rekomendasi dari penelitian harus diterjemahkan menjadi kebijakan, diimplementasikan dalam program, dan hasilnya disebarluaskan. Saminarsih menggambarkan beberapa praktik baik dari CISDI, seperti program penguatan peran dan kapasitas kader kesehatan untuk melakukan skrining dan pemantauan individu melalui program PN-Prima. Kendati program ini mendapat pengakuan dan perhatian dari pemerintah nasional, terdapat berbagai tantangan dalam pelaksanaannya, seperti ketiadaan dokumen identitas pada beberapa individu, resistensi masyarakat dalam memberikan informasi keluarga, perasaan kurang percaya diri dari kader kesehatan, dan kebutuhan digitalisasi untuk mendukung pemantauan. CISDI terus bergerak untuk memperkuat PHC dan kader kesehatan, termasuk pada saat ini mulai memprioritaskan peningkatan kualitas layanan keseehatan.

Pada sesi tanya-jawab, muncul bahasan-bahasan seputar pengalaman negara di mana pemerintah menggunakan bukti dari penelitian untuk pembuatan kebijakan serta HPSR di situasi krisis, misalnya kawasan-kawasan konflik. Salah satu poin penting dari sesi tanya-jawab adalah pernyataan tentang Tangcharoensathien perlunya mementingkan policy formulation, tidak hanya agenda setting. Selain itu, Saminarsih juga menggarisbawahi bahwa untuk mendukung evidence-to-policy perlu upaya pelembagaan yang kuat dan berkelanjutan, di samping menyediakan lembaga yang memfasilitasi proses tersebut.

Pemarapan Kedua

Sesi pemaparan kedua mengusung topik “challenges in learning health systems”. Sesi ini menghadirkan dua pemapar, yakni Manoj Jhalani (direktur Health System Development WHO SEARO) dan Lluis Vinyals Torres (direktur Division of Health Systems and Services, WHO Regional Office for the Western Pacific).

Jhalani menjelaskan bahwa berbagai negara dan kawasan mengalami peningkatan cakupan layanan kesehatan, namun di sisi lain, pengeluaran kesehatan yang bersifat katastropik juga meningkat. Profil epidemiologis pada tahun 2021 menunjukkan bahwa COVID-19 mendominasi beban penyakit (DALY) global, sementara kemajuan penanganan tuberkulosis (TB) masih terlalu lambat untuk mencapai target Sustainable Development Goals (SDG). Dalam konteks SDMK, masalah kualitas dan kinerja SDMK perlu ditelaah lebih lanjut. Di banyak negara, termasuk Indonesia, sektor swasta memiliki peran dan proporsi yang signifikan, sehingga diperlukan strategi yang efektif untuk melibatkan sektor swasta dalam pelayanan kesehatan. Dalam konteks PHC, perlu dipertimbangkan apakah PHC perlu dirancang sebagai sistem yang komprehensif atau  selektif untuk isu kesehatan tertentu. Selain itu, indikator yang dipilih sebaiknya bukan indikator yang hanya mudah diukur, melainkan indikator yang betul-betul memberikan pengukuran yang bermakna. Lebih jauh lagi, Sistem Informasi Kesehatan di berbagai wilayah juga masih terfragmentasi. Namun demikian, semua tantangan ini sejatinya memberikan berbagai peluang untuk perkembangan di masa depan. Jhalani mengakhiri paparannya dengan memberikan aksi strategis untuk melembagakan learning health systems, yakni membangun institusi yang berfungsi sebagai katalis pembelajaran, baik di dalam maupun di bawah kementerian yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan pemerintah, sekaligus memberikan masukan kepada pemerintah. Selain itu, diperlukan kemitraan dengan institusi pengetahuan seperti universitas dan lembaga penelitian serta melakukan upaya untuk memproduksi pengetahuan, menyebarluaskannya, serta membangun kapasitas untuk mendukung implementasi kebijakan yang berbasis bukti.

Selanjutnya, Torres membuka paparannya dengan menjelaskan masalah terkait kurangnya kebijakan efektif untuk mengatasi kesulitan finansial akibat layanan kesehatan dan belum optimalnya penyediaan layanan kesehatan dalam konteks penuaan penduduk dan peningkatan prevalensi Penyakit Tidak Menular (PTM). Model pelayanan kesehatan klasik yang bersifat wait and see dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan isu kesehatan saat ini. Selain itu, salah satu tantangan utama dalam mencapai Cakupan Kesehatan Semesta (UHC) adalah keterbatasan SDMK. Memperbaiki masalah SDMK diperkirakan memerlukan waktu setidaknya 10 tahun, sementara banyak negara masih belum memiliki sumber daya dan sistem informasi yang memadai untuk mendukung inisiatif tersebut. SDMK selama ini banyak diatur oleh mekanisme pasar yang menentukan distribusi dan remunerasi SDMK. Meskipun berbagai negara telah menunjukkan praktik-praktik baik, skalanya belum cukup besar. Torres menutup pemaparannya dengan mengajak audiens untuk terus belajar satu sama lain dan terus melakukan penelitian untuk memperbaiki sistem kesehatan secara menyeluruh.

Sesi diskusi memunculkan bahasan terkait kader kesehatan sebagai SDMK yang penting dalam PHC, namun pengelolaannya masih terfragmentasi dan belum mendapatkan investasi yang memadai. Topik diskusi lain adalah terkait data SDMK yang tidak digunakan dengan optimal akibat kurangnya sumber daya, kapasitas, dan ruang kebijakan untuk menjalankan rekomendasi SDMK. Sesi diskusi memunculkan ide tentang pentingnya bekerja sama dengan media untuk mendiseminasi dan mempopulerkan topik atau ide untuk mendapatkan atensi dari pembuat kebijakan. 

Diskusi Panel Pertama

Sesi dilanjutkan dengan diskusi panel pertama yang menghadirkan tiga panelis yang merupakan akademisi universitas, yakni Dr Taufique Joarder (associate professor, SingHealth Duke-NUS Global Health Institute), Dr Seye Abimbola (associate professor, University of Sydney), dan Dr Katherine Ann Reyes (health promotion program, National Institutes of Health, University of the Philippines Manila).

Mengawali diskusi panel, Joarder mengatakan bahwa kawasan Asia-Pasifik memiliki populasi yang sangat besar dan kaya akan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan, namun hal ini belum berlangsung optimal. Salah satu masalah utama adalah jeda waktu yang panjang antara proses produksi dan transfer pengetahuan kepada pembuat kebijakan, sehingga menghambat penerapan kebijakan berbasis bukti secara efektif. Melanjutkan pernyataan Joarder, Abimbola mengatakan bahwa learning health systems sejatinya tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga unit-unit kecil seperti fasiltias kesehatan. Platform untuk pembelajaran di unit-unit ini harus dioptimalkan agar pengetahuan yang ada di dalam sistem dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Panelis selanjutnya, yakni Reyes, membagikan pengalaman di Filipina, di mana UHC berbasis bukti telah didukung oleh kebijakan nasional. Selain itu, terdapat hibah khusus untuk penelitian promosi kesehatan. Reyes juga menggarisbawahi pentingnya produksi bukti yang dekat dengan episentrum masalah dan menanyakan pertanyaan yang tepat kepada pihak yang tepat. Selain itu, learning health systems harus dikelola oleh pihak yang memiliki kapasitas untuk melakukannya secara berkelanjutan. Saat ini, untuk promosi kesehatan di Filipina, lembaga-lembaga universitas telah mengambil peran dalam mewujudkan hal ini dan membangun kapasitas untuk mendukung implementasi kebijakan yang berbasis bukti.

Diskusi dilanjutkan dengan pertanyaan pemantik tentang perubahan yang dibutuhkan untuk mewujudkan learning health systems. Reyes merespon dengan menggarisbawahi bahwa kolaborasi lintas disiplin perlu diajarkan di lingkup academia, termasuk memberikan mentorship kepada kolega muda agar merasa nyaman berinteraksi dengan pembuat kebijakan, serta memastikan pembuat kebijakan memiliki literasi dan kenyamanan yang cukup untuk memanfaatkan bukti dalam pengambilan keputusan. Abimbola menambahkan bahwa pembuat kebijakan perlu memahami sistem secara menyeluruh, infrastruktur informasi yang mencakup sektor lain di luar kesehatan perlu tersedia, dan bahwasanya tidak semua penelitian efektif untuk semua jenis audiens harus disadari dengan baik. Selanjutnya, Joarder mengatakan bahwa penggunaan kecerdasan buatan yang bijaksana, integrasi pengetahuan, dan interaksi yang lebih bermakna antara peneliti dan pembuat kebijakan diperlukan untuk memperkuat HPSR, di samping pentingnya perluasan cakupan HPSR ke disiplin ilmu lainnya, seperti kesehatan lingkungan dan hewan.

Sesi ditutup dengan pertanyaan dari audiens terkait ketimpangan antara proses evidence to policy terhadap kebutuhan akan hal tersebut. Panelis menjelaskan faktor seperti kurangnya sumber daya dan lemahnya komunikasi yang jelas antara peneliti dan pembuat kebijakan sebagai pendorong ketimpangan tersebut.

Diskusi Panel Kedua

Diskusi panel kedua menghadirkan lima panelis, yakni Somil Nagpal (lead health specialist, The World Bank), Ikuo Takizawa (JICA Ogata Research Institute), Sweta Saxena (Health Systems Advisor, Asia Bureau, USAID), Jean Kagubare (Deputy Director Primary Health Care, Bill and Melinda Gates Foundation), dan Diah Satyani Saminarsih (CEO CISDI).

Topik pertama yang dibahas pada sesi ini adalah tentang investasi untuk HPSR. Nagpal mengatakan bahwa kompleksitas sistem kesehatan yang berkembang dan transformasi pembiayaan kesehatan memerlukan asesmen yang tepat tentang area investasi dan kapasitas untuk mengoperasionalkan investasi. Selanjutnya, Takizawa mengatakan bahwa riset sistem kesehatan terkadang dianggap tidak cukup tangible jika dibandingkan dengan riset-riset biomedis. Namun demikian, JICA mulai bergerak untuk mengeksplorasi investasi di bidang HPSR, dengan catatan sumber daya dan konteks lokal harus dipahami dengan baik. Saxena menimpali dengan menjelaskan bahwa USAID Asia Bureau melakukan analisis lanskap untuk menentukan area yang menerima alokasi dana dan masalah utama yang membutuhkan bantuan USAID. Hasil analisis lanskap yang dilakukan USAID juga menunjukkan adanya kesenjangan dalam hal evidence to policy yang mensinyalir pentingnya memperkuat inisiatif tersebut. Selanjutnya, Kagubare menekankan bahwa pendanaan penelitian harus bersifat katalitik dengan fokus pada kebutuhan negara dan solusi lokal. Namun demikian, perlu diakui bahwa saat ini belum ada indikator pengukuran kinerja sistem kesehatan yang baku, di samping anggaran dan iklim politik yang seringkali menjadi hambatan penguatan sistem kesehatan. Saminarsih kemudian menambahkan bahwa waktu adalah hal yang dibutuhkan untuk sebuah intervensi sistem kesehatan mulai menampakkan hasilnya.

Pertanyaan pemantik selanjutnya membahas tentang hal-hal yang bisa dilakukan untuk merespon tantangan yang dikemukakan oleh panelis. Nagpal menekankan pentingnya mempercepat timeline produksi pengetahuan, misalnya dengan memanfaatkan data yang ada (seperti EMR) guna menunjukkan bahwa HPSR memiliki good value for money. Takizawa menambahkan bahwa momentum seperti pemilihan umum dapat digunakan untuk mempromosikan HPSR kepada pembuat kebijakan. Saxena menggarisbawahi pentingnya translasi pengetahuan, serta melakukan kolaborasi dan mengembangkan visi bersama melalui proses co-creation. Selanjutnya, Kagubare mengatakan bahwa penggunaan data secara optimal penting untuk memprioritaskan area investasi. Terakhir, Saminarsih menyatakan perlunya ruang bagi organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk menjadi policy enterpreneurs dan berfokus pada proof of concept. Saminarsih juga mengingatkan bahwa kesehatan memerlukan pemikiran jangka panjang, sehingga perlu dilakukan pemetaan perkembangan karakteristik pemimpin politik untuk membantu pihak-pihak yang terlibat dalam HPSR memahami dan memprediksi arah politik.

Diskusi Panel Ketiga

Diskusi panel ketiga menghadirkan Dr Sarah Louise Barber (direktur WHO Kobe Center), Dr Karen Grepin (associate professor, the University of Hong Kong), dan Dr Kun Tang (associate professor, Tsinghua University) sebagai panelis. Diskusi ini mengusung topik,”how to make impact in HPSR”.

Barber memulai dengan menyatakan bahwa tantangan HPSR termasuk tantangan kerja sama global health security (GHS) dan tantangan dari luar sektor kesehatan. Grepin menambahkan bahwa learning sejatinya terjadi pada konteks dan tingkatan yang berbeda, namun HPSR seringkali berfokus pada konteks nasional atau kawasan. Tang menimpali bahwa peneliti dan pembuat kebijakan masih sangat terpisah dan belum berinteraksi dengan optimal. Salah satu pengamatan Tang adalah kurangnya kelompok peneliti yang bertujuan untuk mengadvokasi isu tertentu.

Terkait dengan pengukuran dampak HPSR, Grepin mengatakan bahwa sejatinya tidak ada model terbaik untuk memahami evidence to policy, sehingga mengukur dampaknya juga merupakan suatu tantangan. Barber mengusulkan resiliensi sistem kesehatan terhadap perubahan politik sebagai dampak yang bisa dieksplorasi bersama. Sementara itu, Tang mengatakan bahwa indikator global tidak seharusnya menjadi fokus pengukuran dampak HPSR. Menurut Tang, asesmen kualitatif lintas negara lebih diperlukan untuk menunjukkan dampak pada tingkat global.

Sesi ini diakhiri dengan pertanyaan dari audiens, yang mencakup pembahasan tentang pentingnya peneliti untuk selalu siap dengan riset dan jawaban, bahkan sebelum pembuat kebijakan mulai merumuskan pertanyaan kebijakan. Namun demikian, independensi peneliti juga tetap perlu dijaga di dalam proses ini.

Diskusi Panel Keempat

Diskusi panel yang keempat menghadirkan Dr Adnan Hyder (dean for research, Milken Institute School of Public Health, The George Washington University), Dr Steph Topp (professor, James Cook University), dan Dr David Bishai (professor, The University of Hong Kong). Diskusi panel ini mengusung topik pembangunan kapasitas HPSR dan kolaborasi yang lebih baik.

Diskusi panel ini memunculkan gagasan seperti perlunya mengubah paradigma riset supaya tidak hanya berfokus pada produksi publikasi, sebagaimana dikemukakan oleh Hyder. Topp menambahkan bahwa pendidikan tinggi perlu mempersiapkan sumber daya manusia yang siap untuk HPSR dan melakukannya secara lintas disiplin. Menimpali gagasan Topp, Bishai mengatakan bahwa untuk mempersiapkan SDM HPSR, diperlukan upaya lebih dari sekadar “simulasi pemerintahan” dalam kurikulum pendidikan tinggi. Selain itu, panelis juga menekankan pentingnya kurikulum yang mempersiapkan karir di bidang HPSR. Terkait dengan ini, Hyder mengajak audiens merefleksi apakah sejatinya SDM HPSR perlu dibedakan dengan SDM kesehatan masyarakat. Terkait dengan penguatan kolaborasi, Hyder menekankan bahwa institusi yang terlibat dalam kolaborasi harus mencakup beragam entitas. Topp menambahkan bahwa iklim insentif academia terlalu bersifat individualis, sehingga struktur ini perlu dikritisi supaya kolaborasi dapat terjalin.

 

Reporter:
Mentari Widiastuti (Divisi PH, PKMK FK-KMK UGM)

Link Terkait

 

 

Regional Knowledge Event The Strategic Role of Private Health Insurance (PHI) for Health System Goals and to Advance Universal Health Coverage

Alva Hotel by Royal, 1 Yuen Hong Street, Shatin, Hong Kong
Selasa – Kamis, 6-8 Mei 2025

Tentang Acara

Sistem kesehatan di seluruh dunia menghadapi tekanan luar biasa akibat penuaan populasi dan meningkatnya biaya layanan kesehatan, yang mengancam stabilitas keuangan nasional dan daerah. Para pembuat kebijakan yang berupaya memperkuat sistem kesehatan mencari mekanisme pembiayaan alternatif untuk memastikan akses yang adil terhadap layanan kesehatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Dapatkah Asuransi Kesehatan Swasta (PHI) mengisi kesenjangan dan membantu sistem kesehatan dalam mencapai Cakupan Kesehatan Semesta (UHC)?

Topik penting ini akan dibahas dalam Regional Knowledge Event bertajuk “Peran Strategis Asuransi Kesehatan Swasta (PHI) untuk Tujuan Sistem Kesehatan dan Memajukan Cakupan Kesehatan Semesta,” yang akan diadakan pada Rabu, 7 Mei 2025, di Hong Kong. Acara ini diselenggarakan oleh Asia-Pacific Network for Health Systems Strengthening (ANHSS) bekerja sama dengan Centre for Health Systems and Policy Research di Jockey Club School of Public Health and Primary Care, The Chinese University of Hong Kong.

Latar Belakang

Pembiayaan kesehatan publik, seperti sistem berbasis pajak atau Asuransi Kesehatan Sosial (Social Health Insurance – SHI), memainkan peran penting dalam sistem kesehatan global dengan memastikan cakupan luas dan perlindungan keuangan. Di sisi lain, Asuransi Kesehatan Swasta (PHI), yang dibeli secara individu untuk melengkapi, mendukung, atau menggantikan mekanisme pembiayaan publik, juga berkontribusi dalam mengurangi risiko keuangan dan meningkatkan akses layanan kesehatan.
Meskipun skema pembiayaan publik menyediakan cakupan dasar, meningkatnya permintaan akan solusi pembiayaan inovatif telah meningkatkan perhatian terhadap PHI sebagai alat potensial untuk mendukung sistem publik dan memperluas akses layanan kesehatan. Namun, peran PHI dalam mencapai tujuan sistem kesehatan dan UHC masih menjadi perdebatan penting.

Salah satu tujuan sistem kesehatan sebagaimana yang ditetapkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) PBB, Target 3.8, adalah Cakupan Kesehatan Semesta (UHC), yang didefinisikan sebagai “akses ke seluruh layanan kesehatan berkualitas, kapan dan di mana pun dibutuhkan, tanpa kesulitan finansial.” Meskipun UHC menjadi prioritas global, kemajuannya telah mengalami stagnasi bahkan sebelum pandemi COVID-19.

Di negara-negara OECD, belanja kesehatan diproyeksikan tumbuh sebesar 2,6% per tahun, lebih cepat dari pertumbuhan pendapatan pemerintah yang hanya 1,3%, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan keuangan.

Sementara itu, tren global seperti penuaan populasi dan meningkatnya penyakit kronis serta tidak menular menambah tekanan pada sistem kesehatan agar dapat memberikan layanan yang tepat waktu dan merata. Sistem pembiayaan tunggal seperti SHI memang memberikan perlindungan dasar, namun banyak negara menghadapi defisit fiskal yang semakin meningkat, dengan suntikan anggaran tambahan yang diperlukan untuk menjaga keberlanjutan keuangan.

Akibatnya, para pembuat kebijakan di seluruh dunia mengeksplorasi pendekatan pembiayaan kesehatan yang inovatif dan pelengkap. PHI semakin mendapat perhatian karena potensinya untuk mengurangi beban sektor publik, meningkatkan akses layanan kesehatan, dan mengurangi biaya langsung (out-of-pocket costs) bagi individu. Dengan mempertimbangkan tantangan dan peluang ini, diskusi mendalam mengenai peran PHI dalam mencapai tujuan sistem kesehatan dan UHC menjadi sangat penting dan relevan.

Gambaran Acara

Acara ini akan memberikan pemahaman menyeluruh tentang peran strategis PHI dalam konteks tujuan sistem kesehatan di kawasan Asia-Pasifik, dengan menghadirkan wawasan dan pengalaman dari akademisi senior, pembuat kebijakan, regulator, ekonom, dan pelaku industri asuransi.
Para peserta akan berpartisipasi dalam diskusi mengenai:

  • Prinsip Cakupan Kesehatan Semesta – Memahami UHC, perspektif para pemangku kepentingan, serta upaya kolektif dalam mencapainya.
  • Tujuan Sistem Kesehatan, Kebutuhan Populasi, dan Perspektif Pasien – Menelusuri bagaimana desain sistem kesehatan yang berbeda mengatasi tantangan yang sama.
  • Peran Strategis Asuransi Kesehatan Swasta – Menganalisis bagaimana PHI dapat melengkapi dan mendukung skema nasional yang sudah ada.
  • Lingkungan Bisnis dan Regulasi – Membahas persyaratan yang diperlukan agar PHI dapat berfungsi sebagai alat pembiayaan yang berkelanjutan.
  • Studi Kasus dari Asia-Pasifik – Mempelajari pengalaman spesifik dari berbagai negara dan praktik terbaik dalam penerapan PHI.

Acara ini akan menjadi platform unik bagi para pemangku kepentingan utama untuk bertukar pengetahuan, berbagi strategi, dan mengeksplorasi pendekatan berbasis bukti dalam memanfaatkan PHI untuk mendukung UHC.

Tujuan Acara

  • Menganalisis peran PHI dalam mencapai tujuan sistem kesehatan dan UHC di kawasan Asia-Pasifik.
  • Mengkaji kebutuhan dan tantangan sistem kesehatan dari perspektif berbagai pemangku kepentingan, termasuk pembuat kebijakan, regulator, ekonom, dan industri asuransi.
  • Mengeksplorasi berbagai model pembiayaan kesehatan, kelebihan, keterbatasan, dan potensi sinerginya dengan PHI.
  • Mendorong pertukaran pengetahuan tentang strategi untuk mengatasi tekanan finansial dalam layanan kesehatan sambil menjaga aksesibilitas dan kesetaraan.
  • Mendiskusikan kebijakan dan kerangka regulasi yang diperlukan untuk memastikan kontribusi PHI yang berkelanjutan dalam pembiayaan kesehatan.
  • Menyajikan studi kasus nyata yang menggambarkan pengalaman berbagai negara dan pelajaran dalam mengintegrasikan PHI ke dalam sistem kesehatan.

Pembicara dan Tamu Undangan

  • Dr. Eduardo P. BANZON (Director, Health Sector Group, Asian Development Bank, Philippines)
  • Professor Ying-Yao CHEN (Professor, Fudan University, China)
  • Mr. Clement CHEUNG (CEO, Insurance Authority, Hong Kong SAR, China)
  • Professor Philip Wai-Yan CHIU (Dean of Medicine, The Chinese University of Hong Kong, Hong Kong SAR, China)
  • Dr. Yat CHOW (Executive Medical Director, Bupa HK, Hong Kong SAR, China)
  • Shita DEWI (Health Policy and Public Health Division, CHPM, Universitas Gadjah Mada, Indonesia)
  • Dr. FUNG Hong, Executive Director and CEO of CUHK Medical Centre, HKSAR, China)
  • Professor Chantal HERBERHOLZ (Professor, Chulalongkorn University, Thailand)
  • Mr. Sam HUI (Deputy Secretary for Health 1, Health Bureau, Hong Kong SAR, China)
  • Professor Soonman KWON (TBC) (Professor, Seoul National University, South Korea)
  • Dr. Libby Ha-Yun LEE (Under Secretary for Health, Health Bureau, Hong Kong SAR, China)
  • Ms. Sarah LEONG (TBC) (Director, Finance Partnerships and Governance, Ministry of Health, Singapore)
  • Professor Chung-Mau LO (TBC) (Secretary for Health, Health Bureau, Hong Kong SAR, China)
  • Professor Siripen SUPAKANKUNTI (Professor, Chulalongkorn University, Thailand)
  • Professor Laksono TRISNANTORO (Professor, Universitas Gadjah Mada, Indonesia)
  • Professor Sharifa Ezat WAN PUTEH (Professor, Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia)
  • Professor Samuel Yeung-Shan WONG (Director, JC School of Public Health and Primary Care, The Chinese University of Hong Kong, Hong Kong SAR, China)
  • Professor Eng-Kiong YEOH (Director, Centre for Health Systems and Policy Research, The Chinese University of Hong Kong, Hong Kong SAR, China)

Sasaran Peserta

  • Pembuat kebijakan, regulator, ekonom kesehatan, perusahaan asuransi, penyedia layanan kesehatan, dan peneliti yang terlibat dalam penguatan sistem kesehatan dan pembiayaan.
  • Pejabat pemerintah yang menangani kebijakan kesehatan, pemangku kepentingan asuransi kesehatan swasta, serta organisasi internasional yang berfokus pada pencapaian UHC.
  • Profesional dari lembaga multilateral, administrator rumah sakit, dan kelompok advokasi pasien yang ingin memahami strategi pembiayaan kesehatan inovatif serta peran PHI dalam melengkapi sistem kesehatan publik.

Kursus Kebijakan

LINK PENDAFTARAN

 

 

 

Materi dan Video Rangkaian Pelatihan Evidence Based for Health Policy-Making 2024

 

Kegiatan Narasumber
Selasa, 14 Mei 2024

Apa itu kebijakan?

  1. Definisi Kebijakan
  2. Proses Kebijakan 

Analisis Kebijakan Kesehatan dalam Proses Kebijakan

Dr. Gabriel Lele, S.IP, M.Si
(Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL, UGM)

materi   video

Rabu, 15 Mei 2024

Mengenal evidence untuk analisis kebijakan

  1. Definisi Evidence Based Policy Making dan Evidence Informed
  2. Evidence Synthesis untuk penyusunan kebijakan

Shita Listya Dewi
(Konsultan di PKMK FK-KMK UGM)

materi   video

Perumusan Masalah dalam Analisis Kebijakan Kesehatan

  1. Jenis-jenis Masalah dalam analisis kebijakan
  2. Penetapan Masalah Prioritas
  3. Perumusan Masalah

Tri Muhartini, S.IP, MPA
Peneliti Kebijakan Kesehatan PKMK FK-KMK UGM

materi   video

Kamis, 16 Mei 2024

Materi 1:

  1. Dasar perumusan alternatif dan rekomendasi kebijakan
  2. Tahapan perumusan alternatif dan rekomendasi kebijakan

Shita Listya Dewi atau Tri Muhartini, S.IP, MPA

materi   video

Materi 2: Latihan perumusan alternatif dan rekomendasi kebijakan

Shita Listya Dewi atau Tri Muhartini, S.IP, MPA

RPP tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.17 / 2023 tentang Kesehatan

 

Bab Judul Diskusi Pasal  Partisipasi Masyarakat
Bab I Ketentuan Umum link  
Bab II Upaya Kesehatan
Bab III Pengelolaan Tenaga Medis dan Kesehatan
Bab IV Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Bab V Kefarmasian, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan
Bab VI Sistem Informasi Kesehatan  
Bab VII Penyelenggaraan Teknologi Kesehatan  
Bab VIII Penanggulangan Kejadian Luar Biasa dan Wabah  
Bab IX Pendanaan Kesehatan link
Bab X Partisipasi Masyarakat link  
Bab XI Pembinaan dan Pengawasan link  
Bab XII Ketentuan Peralihan link  
Bab XIII Ketentuan Penutup link  

PP No.28 Tahun 2024 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan

 kembali

Untuk mempelajari PP ini, Anda dapat memilih:

  1. Melihat Seluruh isi PP klik disini
  2. PP dapat di klik dalam per BAB, per Bagian, dan per Paragraf

 seri diskusi struktur PP No.28/2024

Bab Judul Bagian PP Permenkes Kepmenkes  
Bab I Ketentuan Umum        
Bab II Upaya Kesehatan  
Bab III Pengelolaan Tenaga Medis dan Kesehatan  
Bab IV Fasilitas Pelayanan Kesehatan      
Bab V Kefarmasian, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan  
Bab VI Sistem Informasi Kesehatan      
Bab VII Penyelenggaraan Teknologi Kesehatan      
Bab VIII Penanggulangan Kejadian Luar Biasa dan Wabah      
Bab IX Pendanaan Kesehatan      
Bab X Partisipasi Masyarakat        
Bab XI Pembinaan dan Pengawasan        
Bab XII Ketentuan Peralihan        
Bab XIII Ketentuan Penutup        

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Webinar Series Terkait UU Kesehatan

A. Pasal-pasal Upaya Kesehatan

A1. Masalah Kesehatan

Diskusi #21 Masa Depan Pelayanan Kesehatan Ibu

  14 September 2023

Pemantik Diskusi: Monita Destiwi, MPA
Pembahas: (1) dr. R. Detty Siti Nurdiati Z, MPH., Ph.D., Sp.OG (K), (2) dr. Jusi Febrianto, MPH, (3) dr. Sandra Olivia Frans, MPH

selengkapnya


Diskusi #19 Pengembangan Perawatan Palliative berlandaskan UU kesehatan 2023 : Rancangan Pendidikan, Pelayanan dan Penelitian

  12 September 2023

Narasumber: Dr. dr. Maria A. Witjaksono, MPALLC.
Pembahas: dr. Agus Ali Fauzi, PGD Pall.Med (ECU)

selengkapnya

 


Diskusi #15 Dampak Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan terhadap Pelayanan THT

BAB V. PASAL 71-73      1 September 2023

Narasumber dr. Agus Surono, M.Sc., Ph.D., Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.B.E.(K) dengan Penanggap: dr. Ashadi Prasetyo, M.Sc., Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.N.O.(K) dan dr. M. Arif Purnanta, M.Kes., Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.N.O.(K)

selengkapnya

 


Diskusi #14 Topik Potensi Pengembangan Intervensi Gizi Di Indonesia

BAB V. PASAL 64-69     31 Agustus 2023

Narasumber pada topik ini Dr. Susetyowati, DCN, M.Kes (Kepala Departemen Gizi & Kesehatan, FK-KMK UGM)

selengkapnya

 


Diskusi #10 Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Keluarga

BAB V. PASAL 96      24 Agustus 2023

Narasumber dr. RA Arida Oetami, Mkes. (ketua dewan penelitian dan pengembangan DIY)

selengkapnya

 


Diskusi #9 Urusan Bencana Kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan No.17 Th 2023

BAB V. PASAL 109-113      21 Agustus  dan 7 September 2023

Narasumber Madelina Ariani, MPH (Peneliti dari PKMK FK-KMK UGM)

Diskusi 1   diskusi 2

 


Diskusi #6 Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Mata

BAB V. PASAL 71-73      11 Agustus 2023

Narasumber dr. Muhammad Bayu Sasongko, Sp.M(K)., M.Epi., PhD (Kepala Departemen Ophthalmology di FK-KMK UGM, Ahli Vitreoretina bedah dan medis)

selengkapnya

 


Diskusi #3 Pembahasan Undang-Undang Kesehatan: Topik Kesehatan Jiwa

BAB V. PASAL 74-85      9 Agustus 2023

Pembicara Utama Diana Setyawati, S.Psi., MHSc., Ph.D., Psikolog, Direktur Centre for Public Mental Health, Fakultas Psikologi UGM.

selengkapnya

 

A2. Penyakit Tidak Menular 

Diskusi #20 Era Baru Sistem Kesehatan: Kasus Pelayanan Penyakit Tidak Menular (Jantung)

  14 September 2023

Narasumber: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Pd.D,
Pembahas: dr. Radityo Prakoso, Sp.JP(K) (PERKI Nasional) dan dr. Real Kusumanjaya Marsam, Sp.JP (K) (PERKI Cabang D.I. Yogyakarta)

selengkapnya

 


A3. Penyakit Menular

Diskusi #17 Pengaruh UU No.17 Th 2023 terhadap Persoalan One Health

BAB V. PASAL 86-95      7 September 2023

Narasumber: Gunawan Wahab (Co-Founder dan Executive Director dari One Health Foundation). Pembahas: Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D dan Dr. drh. Agustina Dwi Wijayanti, M.P.

selengkapnya

 

B. Pasal-Pasal Sumber Daya Kesehatan dan Pendukung

B1. Pendanaan Kesehatan


Diskusi #8 Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Pendanaan Kesehatan

BAB V. PASAL 401-412      16 Agustus 2023

Narasumber webinar ini ialah Dr. Apt., Diah Ayu Puspandari, M.Kes., MBA., AAK, akademisi dari FK-KMK UGM.

selengkapnya

 

B2. SDM Kesehatan

Diskusi #26 Task Shifting dalam Implementasi UU No.17/ 2023 tentang Kesehatan

  9 Oktober 2023

Narasumber oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D dan Pembahas oleh dr. Jon Calvin Frans Paat, M Kes- MMR

selengkapnya

 


Diskusi #23 Peluang Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Kompetensi Pasca Penerbitan UU No. 17 Tahun 2023: Tidak Terikat Waktu dan Kurikulum, Bersifat Moduler

  19 September 2023

Narasumber oleh dr. Ganis Irawan, Sp.PD (Ketua Konsorsium Residensi Hospital Based PW Muhammadiyah Jateng). Pembahasan oleh Dr. James Allan Rarung, Sp.OG, M.M.

selengkapnya

 


Diskusi #22 Proses Sertifikasi dan Kredensial Dokter “Umum”

  14 September 2023

Narasumber dr. Beta Ahlam Gizela, DFM, Sp.FM Subsp. FK(K).
Pembahas dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH (Kes) dan Dr. dr Judilherry Justam, MM, ME, PKK.

selengkapnya

 


Diskusi #13 Topik Perkembangan Academic Health System (AHS)

  29 Agustus 2023

Narasumber dr. Haryo Bismantara, MPH. (Dosen Health Policy and Management dan Konsultan PKMK FK-KMK UGM)

selengkapnya

 


Diskusi #11 Undang-Undang Kesehatan dan Kontrak Perorangan antara Residen dengan RS

  25 Agustus 2023

Pembicara utama Letnan Kolonel Ckm dr. Khairan Irmansyah, Sp. THT-KL., M.Kes dan pembahas oleh dr. Andi Khomeini, Sp.PD

selengkapnya

 


Diskusi #2 Masukan untuk Perumusan Regulasi Turunan UU Kesehatan dalam Penyelenggara Pendidikan Dokter Spesialis: Pengalaman di Bedah Saraf

  3 Agustus 2023

Narasumber oleh dr. Handoyo Pramusinto, Sp.BS(K)

selengkapnya

 


Diskusi #1 Kebijakan Pendidikan terkait dengan Kolegium dan Konsil Kedokteran dan berbagai isu lainnya

BAB VII. PASAL 268-272      31 Juli 2023

Pengantar Diskusi oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD dan narasumber oleh Prof. DR. Dr. Hardyanto Subono SpDV&E (K)

selengkapnya

 


B3. Teknologi


Diskusi #18 Topik Perbekalan Kesehatan, Khususnya Alat Kesehatan

BAB IX. PASAL 322-333      8 September 2023

Narasumber apt. Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D (Dosen Pengajar Regulasi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Pancasila). Sesi Pembahas oleh Erwin Hermanto (Ketua I Asosiasi Produsen Alat Kesehatan) dan dr. Randy H. Teguh, MM (Wakil Ketua Komite Tetap bidang Kefarmasian dan Alkes KADIN)

selengkapnya

 


Diskusi #5 Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Industri Obat dan Alat Kesehatan

BAB IX. PASAL 322-333      11 Agustus 2023

Narasumber Prof. Apt. Dr. Zullies Ikawati dan Kepala Pusat Studi Farmasi dan Teknologi Kesehatan Dr. Hilda Ismail, M.Epid, Apt.

selengkapnya

 


Diskusi #4 Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Sistem Informasi Kesehatan dan Teknologi Kesehatan

BAB X. PASAL 334-344      10 Agustus 2023

Pembicara Utama: Anis Fuad, S.Ked., DEA (Peneliti dan Kepala Divisi e-Health PKMK FK-KMK UGM)

selengkapnya

 


B4. Governance


Diskusi #12 Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Tata Kelola Rumahsakit

  28 Agustus 2023

Narasumber Ni Luh Putu Eka Putri Andayani , S.KM., M.Kes (Konsultan PKMK FK-KMK UGM)

selengkapnya

 


Diskusi #7 Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Mutu Pelayanan Kesehatan

  15 Agustus 2023

Narasumber Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS., FISQua yang merupakan Kepala Divisi manajemen mutu dan dosen MMR di FK-KMK UGM.  

selengkapnya

 


 

B5. Penelitian

BELUM TERSEDIA

C. Aspek Hukum

 

Arbitrase sebagai Paradigma baru Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sengketa Medis

  11 Oktober 2023

Pembicara Utama: Dr. Rimawati, S.H., M.Hum (Dosen Fakultas Hukum UGM)
pembahas oleh Dr. dr. Dwi Heri Susatyo, SpB, FinaCS, FICS dan Dr. dr. Darwito, SH, Sp.B(K)Onk

selengkapnya

 


Analisis Implikasi Norma Pengaturan Pasal 310 UU Kesehatan dan Interpretasinya

  2 Oktober 2023

Pembicara Utama: Dr. Rimawati, S.H., M.Hum (Dosen Fakultas Hukum UGM)

selengkapnya

 


Webinar Analisis Usulan Daftar Perencanaan Program Penyusunan Judul dan Pokok Materi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Berdasarkan Hasil Inventarisasi Pendelegasian UU NO. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

  14 Agustus 2023

Pembicara Utama: Dr. Rimawati, S.H., M.Hum (Dosen Fakultas Hukum UGM)

selengkapnya

 

Isi Undang-Undang

Webinar Series UU Kesehatan

 

PP No.28 Tahun 2024 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan Link
Undang-undang No.17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan Link
Naskah Akademik UU Kesehatan OmniBus Link
RPP tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.17 / 2023 Link
Judicial Review UU Kesehatan Link

Buku saku UU No.17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan
Link

Putusan mahkamah konstitusi republik indonesia
Link

 

Berikut undang-undang yang sudah di pecah dalam 20 Bab :

Bab Judul Diskusi Pasal Peraturan Turunan
Bab I Ketentuan umum link  
Bab II Hak dan Kewajiban  
Bab III Tanggungjawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah link  
Bab IV Penyelenggaraan Kesehatan link  
Bab V Upaya Kesehatan     
Bab VI Fasilitas Pelayanan Kesehatan  
Bab VII Sumber Daya Manusia Kesehatan    link
Bab VIII Perbekalan Kesehatan link  
Bab IX Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan    link  
Bab X Teknologi Kesehatan    link  
Bab XI Sistem Informasi Kesehatan  
Bab XII Kejadian Luar Biasa dan Wabah  
Bab XIII Pendanaan Kesehatan    link  
Bab XIV Koordinasi dan Sinkronisasi Penguatan Sistem Kesehatan link  
Bab XV Partisipasi Masyarakat link  
Bab XVI Pembinaan dan pengawasan  
Bab XVII Penyidikan link  
Bab XVIII Ketentuan Pidana link  
Bab XIX Ketentuan Peralihan link  
Bab XX Ketentuan Penutup link  

 

UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

uuno17

  Deskripsi Kegiatan dan Tujuan

Laman ini membahas perkembangan UU Kesehatan OBL yang telah disahkan pada tanggal 11 Juli 2023, Tujuan: 

  1. Membahas UU Kesehatan OBL dengan siklus kebijakan yang dinamis sehingga ada dokumentasi yang baik untuk dipergunakan segenap komponen bangsa.
  2. Menjadi sumber pengetahuan untuk lembaga-lembaga di sektor kesehatan yang mempraktekkan konsep Knowledge Management yang terkait dengan materi UU Kesehatan OBL.
  3. Menjadi sumber pengetahuan bagi Masyarakat-Masyarakat Praktisi yang ada dalam kaitannya dengan RUU Kesehatan OBL.

Proses penyusunan UU Kesehatan OBL ini berjalan dengan dinamika menarik. Pro dan kontra dalam masa penyusunan sebagai RUU berjalan di berbagai media dan media sosial. Sesuai dengan teori analisis stakeholder, terdapat pihak yang menentang dan yang mendukung dengan berbagai pandangan masing-masing. Proses penyusunan UU ini merupakan sebuah contoh riil siklus penyusunan kebijakan yang dimulai dari agenda setting.

Dinamika proses kebijakan ini yang akan dibahas dalam laman ini. Proses di dalam agenda setting, dinamika penyusunan sampai dengan perumusan UU ke aturan turunan akan dibahas. Sebagai sebuah perjalanan panjang, pelaksanaan UU Kesehatan akan dikaji dengan monitoring dan evaluasi yang diharapkan dapat membantu untuk perbaikan-perbaikan kebijakan di masa mendatang. Disamping itu akan dilakukan kegiatan Knowledge Management mengenai UU ini.

Pembahasan mengenai UU Kesehatan OBL ini sangat banyak dan akan dilakukan berbasis pada Bab-bab yang ada. Secara keseluruhan juga akan ada pembahasan secara konsepsual menggunakan pendekatan Reformasi Kesehatan.

  Referensi

 

  Manajemen Pengetahuan

Manajemen Pengetahuan (Knowledge management, KM) dikenalkan oleh Tom Davenport pada tahun 1994. Dinyatakan bahwa: “Manajemen Pengetahuan adalah proses menangkap, mendistribusikan, dan secara efektif menggunakan pengetahuan.” Setelah itu Grup Gartner membuat definisi lain tentang KM (Duhon, 1998): “Manajemen pengetahuan adalah disiplin yang mempromosikan pendekatan terpadu untuk mengidentifikasi, menangkap, mengevaluasi, mengambil, dan berbagi semua aset informasi organisasi. Aset ini dapat mencakup basis data, dokumen, kebijakan, prosedur, dan keahlian serta keahlian-pengalaman yang ada di individu. ” Definisi ini tidak hanya membahas mengenai pengetahuan dari dalam organisasi, namun juga pengetahuan yang relevan dari luar organisasi (Koenig, 2018).

Perspektif penggunaan Knowledge Management (KM) ada pada lembaga-lembaga yang akan mengadopsi praktek ini. Ada lembaga yang menggunakan KM dan sebagai suatu kegiatan yang penting, ada yang tidak. Knowledge management merupakan suatu proses yang menjadikan sebuah lembaga menjadi lebih baik. Prinsip-prinsip Knowledge management dapat mendorong sebuah lembaga mempunyai kemampuan-kemampuan untuk mengidentifikasi, meng-capture, mengevaluasi dan meninjau kembali serta sharing informasi dan pengetahuan yang berguna. Hal ini menunjukkan bahwa knowledge menjadi sebuah aset, bukan sebuah beban. Knowledge adalah sebuah aset yang dapat digunakan, termasuk bagaimana para staf mempunyai pengalaman-pengalaman yang menarik untuk dibahas.

  Tentang Masyarakat Praktisi

Masyarakat Praktisi (MP) atau Community of Practice (CoP) adalah sekelompok masyarakat yang secara aktif dan sengaja untuk duduk bersama membahas sesuatu dalam bidang yang sama-sama dikerjakan. Anggota CoP ini dapat dari Dosen Perguruan Tinggi, Peneliti, Organisasi Profesi, Kolegium, Pengambil Kebijakan, Konsultan / Technical Expert, Donor Agency, sampai pembelajar (mahasiswa dan sebagainya). Berikut ini berbagai Masyarakat Praktisi yang membahas kaitan UU Kesehatan dengan bidang mereka sehari-hari.

Ada beberapa kelompok MP:

1. Topik Upaya Kesehatan

  Bencana Kesehatan
  Upaya Kesehatan Masyarakat (Essential Public Health Service)

 

2. Topik yang menjadi pendukung Upaya Kesehatan

  Aspek Mutu dalam UU Kesehatan
  Kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis
  Rencana Induk Kesehatan

 

3. Topik Hukum dan lain-lain

 

Terdapat beberapa pilihan kategori referensi yang dapat dipelajari seperti berikut

           ibuku

ibuku           

           

ibuku           

 

 

Pengelola

Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM,
Divisi Pengetahuan

Laman ini terbuka gratis untuk seluruh pengguna di dunia, tidak mempunyai password. Sumber dana berasal dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan dan PKMK FK-KMK Universitas Gadjah Mada dan pihak-pihak lain yang tertarik dalam program ini, termasuk filantropi kesehatan.

Diharapkan ada organisasi-organisasi yang akan menjadi anggota dalam Knowledge Management system. Dengan menjadi anggota diharapkan organisasi yang ikut akan mempunyai manfaat :

  • Mendapatkan informasi terbaru yang dapat dipergunakan mengenai berbagai perkembangan UU Kesehatan.
  • Mendapatkan latihan mengenai Knowledge Management untuk lembaga secara periodik.
  • Membudayakan Knowledge Management di anggotanya.

Organisasi yang dapat menjadi anggota Knowledge Management adalah:

  • Kelompok Regulator: Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten-Kota, BPOM.
  • Kelompok Operator: RS, Puskesmas, FKTP swasta
  • Kelompok organisasi Pembiayaan
  • Organisasi-organisasi Profesi
  • Universitas

Penanggung Jawab: Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.

Resources Person:

  1. Dr. Rimawati, S.H., M.Hum.
  2. Bu Shita Dewi, MPP
  3. Eurica Stefany Wijaya (Event)
  4. Valentina Lakshmi Prabandari (Event)
  5. Widarti (Referensi)
  6. Yulis Yuhiba (Web Uploader)
  7. Nila Munana (Sekretaris)

 

Blended Learning Pelatihan Evidence Based for Health Policy-Making

 

  LATAR BELAKANG

Secara konsep, evidence atau bukti ini dapat diartikan  sebagai ‘kebijakan berbasis bukti’ (Evidence Based Policy) yang sering dianggap sebagai hasil evolusi dari gerakan kedokteran berbasis bukti (Evidence Based Medicine / EBP) (Goldenberg 2005; Pawson 2006; Young et al. 2002). Pendekatan ini mengarahkan untuk setiap keputusan diambil untuk menyelesaikan suatu masalah kesehatan telah mempertimbangkan bukti atau evidence yang ada. Permasalahan yang diselesaikan dengan mengambil suatu keputusan atau penetapan kebijakan dari pengambil keputusan tanpa mempertimbangkan evidence dapat mengakibatkan kesalahan tipe III yaitu masalah tidak terselesaikan dan menimbulkan masalah baru lainnya (Dunn, 2003).

Namun, ketika EBP ini tersedia, banyak pengambil keputusan yang tidak memiliki kemampuan untuk membaca dan memahaminya sehingga hasil dari EBP ini diperlukan pula jembatan atau diterjemahkan. Penerjemahan EBP ini dapat disebutkan dengan melakukan Knowledge Translation Product (Produk Penerjemahan Pengetahuan) yang memiliki fungsi untuk mengisi gap antara pengetahuan dan kebutuhan praktik. Ada banyak bentuk Knowledge Translation Product yang menjadi prioritas materi pelatihan, dua diantaranya; policy brief dan briefing notes. Dua produk ini banyak digunakan karena memiliki dampak lintas konteks dan topik. Policy brief dan briefing notes merangkum banyak evidence antara lain; evidence dari sumber global, lokal, dan kontekstual (wawancara informan kunci dengan pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan yang ditargetkan). Policy Brief mengandung beberapa poin utama yang cukup lengkap yaitu pernyataan masalah, opsi atau elemen, dan pertimbangan implementasi. Sedangkan briefing notes lebih singkat, dengan cepat dan efektif memberi saran kepada pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan tentang masalah publik yang mendesak dengan menyatukan bukti penelitian global dan bukti lokal.

  TUJUAN

Pelatihan ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan peserta untuk:

  1. Memahami tentang kebijakan kesehatan
  2. Memahami analisis kebijakan kesehatan
  3. Memahami policy brief
  4. Mampu menyusun policy brief
  5. Memahami advokasi kebijakan

  PEMATERI

  1. Dr. Gabriel Lele, S.IP, M.Si – Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL, UGM
  2. Shita Listya Dewi, S.IP., MM, MPP – Kepala Divisi Kebijakan Kesehatan, PKMK FK – KMK, UGM
  3. Tri Muhartini, S.IP, MPA – Peneliti Kebijakan Kesehatan, PKMK FK – KMK, UGM

  TARGET PESERTA

  1. Akademisi Bidang Kesehatan
  2. Peneliti dan Konsultan Bidang Kesehatan
  3. Pejabat dan Staf Lembaga Pemerintahan Bidang Kesehatan
  4. Jejaring Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) atau/dan Mitra PKMK

Rangkaian Kegiatan Online

Materi Submateri Biaya

Tahapan 1 Analisis Kebijakan (14 – 16 Mei 2024)

Peranan evidence dalam penyusunan kebijakan

  1. Apa itu kebijakan?
    1. Definisi Kebijakan
    2. Proses Kebijakan 
  2. Mengenal evidence untuk analisis kebijakan
    1. Definisi Evidence Based Policy Making dan Evidence-Informed
    2. Evidence Synthesis untuk penyusunan kebijakan

Materi & Video pelatihan

selengkapnya

Memahami Analisis Kebijakan Kesehatan

  1. Analisis Kebijakan Kesehatan dalam Proses Kebijakan
  2. Perumusan Masalah dalam Analisis Kebijakan Kesehatan
    1. Jenis-jenis Masalah dalam analisis kebijakan
    2. Penetapan Masalah Prioritas
    3. Perumusan Masalah
  3. Metode Forecasting dalam Analisis Kebijakan Kesehatan
  4. Perumusan Alternatif/Opsi dan Rekomendasi Kebijakan

Tahapan 2 Policy Brief (21 – 22 Mei 2024)

Menyediakan Usulan Kebijakan Kesehatan dalam Policy Brief

  1. Mengenal Knowledge Translation (KT)
    1. Konsep KT
    2. Produk KT
    3. Struktur Policy Brief
  2. Menulis Rumusan Masalah dalam Policy Brief
    1. Pernyataan Masalah
    2. Ukuran Masalah
  3. Menulis Usulan Kebijakan

Materi & Video Pelatihan

Selengkapnya

Tahapan 3 Advokasi Kebijakan (12 – 13 Juni 2024)

Definisi advokasi kebijakan kesehatan

  1. Mengenal Advokasi Kebijakan
    1. Definisi advokasi kebijakan
    2. Mengapa advokasi kebijakan penting?
  2. Ceritakan advokasi mu

Materi & Video Pelatihan

Selengkapnya

Strategi advokasi kebijakan kesehatan

  1. Menyusun Tujuan SMART
  2. Pemetaan Pemangku Kepentingan
    1. Identifikasi Target Pemangku Kepentingan
    2. Analisis Interest dan Power Pemangku Kepentingan
    3. Membangun Koalisi Advokasi Kebijakan 
  3. Membangun Pesan Advokasi Kebijakan
  4. Mengenal Alat dan Taktik Advokasi Kebijakan
  5. Komunikasi dalam Advokasi Kebijakan
  6. Menyusun Rencana Advokasi Kebijakan

 

Form Pendaftaran

 

Rangkaian Kegiatan Offline di Yogyakarta

Materi Submateri Biaya
Tahapan 1 Analisis Kebijakan (Rabu, 10 Juli 2024)
Peranan evidence dalam penyusunan kebijakan
  1. Apa itu kebijakan?
    1. Definisi Kebijakan
    2. Proses Kebijakan 
  2. Mengenal evidence untuk analisis kebijakan
    1. Definisi Evidence Based Policy Making dan Evidence-Informed
    2. Evidence Synthesis untuk penyusunan kebijakan

Umum: Rp. 6.500.000,-

Memahami Analisis Kebijakan Kesehatan
  1. Analisis Kebijakan Kesehatan dalam Proses Kebijakan
  2. Perumusan Masalah dalam Analisis Kebijakan Kesehatan
    1. Jenis-jenis Masalah dalam analisis kebijakan
    2. Penetapan Masalah Prioritas
    3. Perumusan Masalah
  3. Metode Forecasting dalam Analisis Kebijakan Kesehatan
  4. Perumusan Alternatif/Opsi dan Rekomendasi Kebijakan
Tahapan 2 Policy Brief (Kamis, 11 Juli 2024)
Menyediakan Usulan Kebijakan Kesehatan dalam Policy Brief
  1. Mengenal Knowledge Translation (KT)
    1. Konsep KT
    2. Produk KT
    3. Struktur Policy Brief
  2. Menulis Rumusan Masalah dalam Policy Brief
    1. Pernyataan Masalah
    2. Ukuran Masalah
  3. Menulis Usulan Kebijakan
Tahapan 3 Advokasi Kebijakan (Jumat, 12 Juli 2024)
Definisi advokasi kebijakan kesehatan
  1. Mengenal Advokasi Kebijakan
    1. Definisi advokasi kebijakan
    2. Mengapa advokasi kebijakan penting?
  2. Ceritakan advokasi mu
Strategi advokasi kebijakan kesehatan
  1. Menyusun Tujuan SMART
  2. Pemetaan Pemangku Kepentingan
    1. Identifikasi Target Pemangku Kepentingan
    2. Analisis Interest dan Power Pemangku Kepentingan
    3. Membangun Koalisi Advokasi Kebijakan 
  3. Membangun Pesan Advokasi Kebijakan
  4. Mengenal Alat dan Taktik Advokasi Kebijakan
  5. Komunikasi dalam Advokasi Kebijakan
  6. Menyusun Rencana Advokasi Kebijakan

 

Form Pendaftaran peserta luring

SERTIFIKAT

Peserta yang mengikuti pelatihan akan mendapatkan sertifikat setelah seluruh tahapan pelatihan berakhir.

 

BIAYA

Pembayaran peserta dapat dilakukan dengan melalui transfer ke rekening panitia dengan Kode Unik 33, contoh Rp. 1.500.033. No. Rekening sebagai berikut:

No Rekening : 9888807171130003
Nama Pemilik : Online Course/ Blended Learning FK UGM
Nama Bank : BNI
Alamat : Jalan Persatuan, Bulaksumur Yogyakarta 55281

Catatan: pembayaran yang di lakukan dari beda Bank BNI, mohon bisa menggunakan biaya transfer online sebesar Rp. 6.500 tidak bisa menggunakan biaya BI Fast sebesar Rp. 2.500

 

NARAHUBUNG

Tri Muhartini
Tlp: +6289693387139
Email: [email protected]

Kepesertaan dan Konfirmasi Pembayaran:
Maria Lelyana (Kepesertaan)
Telp: 0274-549425 / 082134116190
Email: [email protected]